UWRF 2021: Kelindan Puisi dan Politik

Nightman
4 min readSep 28, 2022

--

Salah satu sesi yang saya tunggu dalam Ubud Writers and Readers Festival tahun ini adalah sesi dari Felix K. Nessi. Terlebih setelah saya browsing di website resmi dari UWRF, sesi yang ia hadiri akan berjudul “Poetry and Politics”.

Sesi ini bagian Main Program dari Ubud Writers and Readers Festival 2021. Sesi ini terselenggara pada hari kedua Festival Literasi terbaik di Asia Tenggara, Acara ini dilangsungkan dalam bentuk pre recorded yang bisa disaksikan secara online pada tanggal 10 Oktober 2021.

Selain Felix, Emily Sun juga merupakan salah satu pembicara dalam sesi ini. Emily sendiri merupakan penulis puisi dan prosa yang telah diterbitkan dalam berbagai jurnal dan antologi. Salah satunya adalah Meanjin, Growing Up Asian in Australia, Cordite Poetry Review dan Australian Poetry Journal.

Saya belum terlalu mengenal karya-karya yang telah diterbitkan oleh Emily namun dalam sesi ini Emily memberikan pernyataan menarik mengapa ia memulai menulis puisi. Menurutnya, menulis puisi memberikan ia kebebasan untuk keluar dari pakem-pakem yang hanya membelenggu.

Emily mengatakan puisi-puisinya lahir dari kegelisahan mengenai tempat dan identitas. Namun, Ia merasa tidak pernah terikat dengan satu tempat khusus. Dia bahkan merasa tanah kelahirannya tidak bisa menjadi tolak ukur keterkaitannya dengan identitasnya. Di Australia di mana dia tinggal sekarang, dia juga merasa dirinya dan orang-orang China lainnya belum dianggap sepenuhnya sebagai orang Australia.

Ia menyadari bahwa diskriminasi itu masih ada. Emily sendiri sebenarnya lahir di Hong Kong, namun pada usia tiga tahun ia pindah ke Inggris, dan pada usia delapan tahun bermigrasi bersama keluarganya ke Whadjuk Noongar Boodjar, Australia.

Hal inilah yang membuat kegelisahan mengenai tempat dan identitas membuatnya menulis puisi-puisinya. Ia merasa puisi menjadi jalan keluar untuk mengeluarkan hal-hal yang tidak ia ungkapkan.

Seperti Emily, puisi-puisi Felix juga erat kaitannya dengan tempat. Dalam buku kumpulan puisi berjudul “Kita Pernah Saling Mencinta” yang diterbitkan Gramedia pada Maret lalu, Felix dengan metafora-metafora yang ganjil menggambarkan bagaimana kondisi tanah kelahirannya.

Penggambaran akan tanah kelahiran yang mengalami kekeringan, diskriminasi dan kematian merupakan kegelisahan Felix yang dituangkan dalam bentuk puisi-puisi yang getir nan menyesakkan.

Namun, tak keluar dari judul, puisi-puisi Felix di buku ini bisa jadi salah satu puisi yang sangat romantis. Misalnya dalam puisi yang berjudul “Di rumah Seorang Asing yang Tak henti Membicarakan Rambut dan Warna Kulit”, Felix menulis,

Siapakah yang diam-diam menaruh gemunung di dalam hatimu?
Siapakah yang membentangkan curiga dari ujung dagu hingga jendela kamarmu?
Di negeri kami, orang-orang bercerita tentang tanah yang hilang, tentang bangsa tak punya siapa-siapa selain ibukota.
Bawalah bebanku, kau berkata, aku punya tulang yang ganjil tapi lihai memberi cerita.

(Beli bukunya untuk membaca seluruh bait puisi Felix K Nesi).
Dan ketika dalam sesi tersebut ditanya mengapa tempat (tanah kelahirannya) menjadi kegelisahan yang ia tuangkan dalam puisi. Felix bercerita bahwa puisi-puisinya lahir dari kegelisahan mengenai ketimpangan yang terjadi antara Jawa-Jakarta dan Nusa Tenggara Timur. Ia melihat kesenjangan itu ketika dirinya berkuliah di Malang.

Felix menjelaskan Jakarta dan Jawa sentrisme membuat hal-hal yang terjadi di sana disiarkan ke seluruh tempat di Indonesia. Hal-hal itu menjadi gambar yang ditunjukan pemerintah kepada khalayak, ketika sebenarnya Indoneisa tentu bukan hanya Jakartan dan Jawa. Bahkan dalam kesempatan itu Felix berseloroh,

“Orang Jakarta yang buang air, di NTT orang-orang tau,” ujarnya bercanda.

Hal-hal seperti itulah yang Felix sampaikan dalam puisinya. Tentang ironi-ironi, tentang kemalangan, tentang hal-hal yang tidak tertangkap kamera-kamera berita di Jakarta.

Kembali ke Emily, ia mengatakan bahwa dalam menulis puisi, sangat susah untuk tidak mengaitkan dengan politik serta sosial budaya. Emily bahkan beranggapan bahwa puisi dan politik merupakan hal yang linier.

Pun halnya dengan Felix, di Nusa Tenggara Timur, di mana dia lahir dan tumbuh besar, puisi merupakan hal-hal yang menjadi keseharian baginya. Puisi akan ia lantunkan ketika menggembala. Puisi akan dibacakan pada upacara-upacara. Mantra-mantra yang dirapalkan para tetua sejatinya merupakan puisi.

“Kami berpuisi bahkan untuk semua hal,” ujarnya.

Puisi menjadi erat kaitannya dengan kehidupan personal Felix.

Namun, Felix juga bercerita bahwa hal-hal politis yang keluar dalam bait-bait puisinya lahir karena pengalaman traumatis ketika terjadi peperangan di Timor Timor tahun 1999 membuatnya merasa pemerintah harus bertanggung jawab. Ia mengatakan momen-momen para tentara yang membawa senjata memasuki perkampungannya masih melekat di kepalanya.

Ia juga masih ingat beberapa orang yang masih berkerabat dengan keluarganya harus mengungsi dari kecamuk perang yang terjadi. Di Novel Orang-Orang Oetimu, Ia sendiri mengisahkan bagaimana orang-orang bisa mati karena terlindas truk iring-iringan tentara.

Itulah yang membuatnya merasa karya-karya yang lahir setelah ia memutuskan menjadi seorang sastrawan erat dengan pertanyaannya terhadap negara yang gagal memenuhi rasa aman yang tidak ia dapatkan semasa peperangan Timor Timur.

Salah satu puisi yang bisa jadi merupakan manifestasi pengalaman traumatis Felix dalam buku “Kita Pernah Saling Mencinta” Felix menulis,

Seseorang berteriak seperti bom yang akan meledak
Seseorang berlari seperti baru melihat tentara
Seseorang menari seperti pastor menari di pernikahan kekasihnya
Seseorang, dari masa lalu, melihat dirimu tersenyum

Sebelum Hujan, dalam “Kita Pernah Saling Mencinta” karya Felix K. Nesi
Di akhir sesi yang telah direkam sebelumnya tersebut, salah satu peserta bertanya, “Apakah kamu tidak takut kamu akan dipenjara karena karya-karyamu?”

Felix menjawab, “Tidak, saya bahkan tidak pernah memikirkan hal itu. Karena saya tahu dengan pasti. Mereka tidak membaca,”

Felix kemudian menjelaskan berbagai bukti bahwa pemerintah tidak punya waktu untuk membaca dan tidak membaca. “Ahh.. apalagi puisi…,” pungkasnya.

Artikel ini telah terbit di balebengong.id dengan judul yang sama. Berikut Linknya: https://balebengong.id/uwrf-2021-kelindan-puisi-dan-politik/

--

--

Nightman
Nightman

Written by Nightman

Pencatat hal-hal kecil yang terlewat, mengaku sebagai penyuka buku, musik, film, dan jalan-jalan di jam tiga dini hari.

No responses yet