Buku ini mempunyai judul yang tidak biasa. Lusifer! Lusifer!. Itulah judul bukunya. Tidak ada keterangan tambahan. Hanya dua kata berulang itu saja. Penulis Bukunya adalah Venerdi Handoyo.
Buku tipis ini terbit tahun 2022. Diterbitkan oleh penerbit kecil di Jakarta, yaitu Post Press. Post Press sendiri merupakan bagian dari Toko Buku Indie di Jakarta, Post Santa. Sejauh ini menerbitkan karya-karya niche namun tak terbatas pada genre terentu.
Lusifer! Lusifer! sendiri adalah buku fiksi. Bisa disebut novela juga sepertinya. Atau jika saya menggunakan istilah sendiri, buku tersebut bisa dibilang merupakan Cerita Panjang (Cerpan). Ya, karena ceritanya agak panjang, namun buku ini tentu bisa saja selesai sekali duduk.
Saya tahu ini buku ini sebenarnya beberapa tahun lalu. Dan sebenarnya tidak tertarik. Saya pikir judulnya aneh. Dan saya pikir buku ini adalah buku horor tentang ritual pengusiran iblis yang akan sangat menegangkan. Tapi, setelah membaca beberapa terbitan lain dari Post Press, saya memutuskan untuk membeli buku ini dan ingin mencari tahu bukunya tentang apa.
Jika tidak membaca hingga halaman terakhir, kemungkinan kamu akan terkecoh dengan buku ini. Di bab awal, seperti yang saya sebutkan tadi, buku ini rasanya seperti buku horor yang mencekam. Namun, di tengah-tengah, buku ini akan mulai membahas sesuatu yang dalam. Tentang hal-hal yang rasanya tabu jika dibawa dan diobrolkan di ruang keluarga misalnya.
Berikut ini beberapa nama karakter yang saya ingat. Mawarsaron, Markus Yonatan, Singa Yehuda, Diaken Yesaya Methuselah, Matius Abraham, Lukas Natanael. Injil sekali bukan? Yap, karena buku ini berlatar di lingkungan gereja dan berpusat pada keluarga kristen.
Secara garis besar, novela atau cerita panjang ini mengangkat tema kepatuhan akan suatu hal. Atau Iman. Buku ini, bercerita bagaimana para pemeluk agama kadang-kadang bisa jadi buta dengan dogma-dogma yang dipercaya lalu menelannya mentah-mentah.
Di sinilah, masalahnya berpusat.
Sering kali, manusia menerjemahkan agama terlalu melangit, dan lupa untuk menerapkannya secara membumi. Cerita ini bisa jadi cerita yang familiar, sebuah rumah ibadah bisa punya anggaran miliaran rupiah, tapi dua orang penghuni rumah di belakangnya bisa meninggal karena belum bisa makan selama dua hari.
Cerita dalam buku ini bisa dibilang mudah untuk diikuti. Meskipun alur diceritakan secara maju mundur dan berpindah waktu, poin-poinnya masih sederhana sehingga pembaca santai saja masih bisa memahami buku ini tanpa kesusahan.
Yang paling saya sukai dari buku ini adalah bagaimana tema yang sering kali dianggap sebagai tema yang berat, diceritakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti. Lapisan cerita yang mudah diikuti tersebut saya pikir akan membuat pembaca menyerap lebih baik apa yang penulis ingin sampaikan.
“Kalau iman membuat kita merasa tidak bercacat cela maka kita sudah jauh tersesat” — Lusifer! Lusifer!
Highlight paling besar memang pada gaya kepenulisan Venerdi yang tidak belibet dan santai.
Beberapa karakter menarik perhatian saya, namun, cerita dalam novel ini sendiri akan membuatmu merenung panjang mengenai cara beragama yang menyeimbangkan antara ketuhanan atau hubungan personal dengan sang pencipta, dan di sisi lain, sebagai manusia dan makhluk sosial, sudah sepantasnya mengayomi dan berguna bagi sesama.
Melalui peristiwa yang dialami oleh karakter dalam cerita, susah tidak memberikan rasa empati terhadap apa yang dialami. Pembacaan saya terhadap buku ini rasanya personal sekali, dan memberi pelajaran untuk terus berbagi kasih kepada orang-orang di sekitar.
Jika ditanya adalah bagian yang terasa membosankan, membingungkan, atau kurang meyakinkan, saya harus mengulik lagi memori ketika membaca buku ini, tetapi, rasanya tak terlalu banyak hal yang terasa membosankan, membingungkan, atau kurang meyakinkan.
Garis besarnya, buku ini seperti kata editor, bisa dibaca sekali duduk karena memang sangat menarik. Ini komentar teman yang saya pinjam buku ini, “Ga bisa berhenti baca ini sampai lembar terakhir… Setuju banget dengan pendapat kak Harun. Manusia beragama suka lupa menghidupi nilai agamanya”
Mengingat gelombang konservatisme semakin menguat hari-hari ini, Novela Lusifer Lusifer ini rasanya seperti oase kecil untuk mengingatkan kembali perihal peran iman sebagai katalisator sosial. Saya pikir, buku ini juga bisa menjadi pengantar untuk perenungan manusia agar memberi manfaat kepada manusia lainnya.
Pesan dalam buku ini harusnya bisa disebarkan lebih luas lagi. Secara keseluruhan, Lusifer Lusifer adalah cerita penuh makna yang disampaikan lewat penuturan yang sederhana. Saya tak perlu memberi rating atau skor untuk buku ini, namun, jika membutuhkan bacaan dengan bahasa ringan namun penuh makna, saya akan merekomendasikan buku ini dengan sepenuh hati.