Tidurlah! Tidur bersama raksasa itu

Nightman
3 min readSep 28, 2024

--

Photo by photo nic on Unsplash

Jika saja mengikis jarak semudah mencubit maps di layar hape maka aku tidak akan sepusing ini sekarang. Nyatanya, aku tahu benar bahwa skalalah yang membuat jarak itu tampak dekat (kalau boleh sombong, aku mendapat nilai 100 pertama dibandingkan teman-temanku saat latihan soal matematika bab ini saat kelas 6 MI), dan sialnya itu hanyalah ilusi.

Aku masih ingat betul iklan salah satu provider layanan telekomunikasi yang menampilkan momen sebuah keluarga yang saling berjauhan. Anaknya sedang bekerja di kota sedangkan ibu dan keluarganya tinggal di desa. Di momen lebaran yang harusnya seluruh keluarga kumpul bersama, si anak tidak bisa pulang. Dengan mengharukan, teknologi memberikan solusi “mendekatkan yang jauh” melalui telepon ataupun video call. Saat itu aku turut mengamininya.

Tapi sekarang, I can say it’s all bullshit.

Dasar penipu!

Silakan kalian mengejekku, tidak apa.

“Alay banget! Jatuh cinta lu ya?”

Memang! ❤️

Jauh dari orang yang kita sayang itu berat. Sepertinya halnya jauh dari orang tua, saudara, atau sahabat. Tapi itu semua tidak lebih menyedihkan daripada jauh dari orang yang baru-baru ini kita jatuh cintai.

Kau boleh mengataiku alay, bucin, atau apapun itu. Aku sedang menikmati ke-alay-an yang menyenangkan ini. hehe.

Sekali lagi, jauh dari yang tersayang itu berat. Percayalah! Tapi kau juga punya pilihan untuk tidak langsung percaya. Aku lebih setuju kalau kau ingin membuktikannya langsung.

Aku benar-benar tidak ingin merasakan nikmat ini sendirian. Aku akan memberikan dukungan penuh pada kalian, sebesar dukungan ultras untuk klub sepak bolanya masing-masing.

Tak pernah sebelumnya terpikir aku akan menyandang status LDR (Long Distance Relationship, kang edit masih merasa LDR itu long d*ck reduction, atau pemotongan t*tit yang kepanjangan, huhuhu).

Lebih-lebih, dengan dia yang kami bahkan terpisah dua laut dan satu pulau. Membutuhkan waktu satu hari lebih jalur darat bagi dia untuk mengunjungi ku, pun sebaliknya.

Berkabar lewat tulisan, saling memuja dan memuji, mendengar suara, dan melihat keadaan masing-masing dari layar gadget tidak akan pernah cukup.

Kalimat per kalimat sungguh sangat berarti. Menjaga agar selalu ada dan menyenangkan satu sama lain tidaklah mudah. Ini konsekuensi. Aku tahu. Konsekuensi dari sayang kepada dia yang jauh.

Untuk saat ini, aku bahkan tidak tahu kapan kami akan bertemu lagi.

Iya, lagi.

Justru karena “lagi” itu lah, perasaan ini sulit untuk ditahan. Rasanya seperti kecanduan. Tak perlu ambil risiko dengan menggunakan obat-obatan laknat untuk memahami arti dari kecanduan. Cukup sepertiku saja. Jalinlah hubungan dengan orang jauh, bertemulah, maka kau akan paham arti kata candu itu.

Gila rasanya. Sungguh!

Kegilaan ini membuat aku berandai-andai.

Bagaimana jika kami tidak pernah berjumpa?
Bagaimana jika kami tidak pernah bertukar senyum?
Bagaimana jika kami tidak pernah duduk bersamping-sampingan?
Bagaimana jika kami tidak pernah bergandengan tangan?
Bagaimana jika kami tidak pernah makan berdua?
Bagaimana jika kami tidak pernah berboncengan sepeda motor berkilo-kilo meter sambil mengunyah permen karet, membuat balon-balon dan meletupkannya, mencuri-curi pandang lewat spion, dan menikmati lampu kota?
Bagaimana jika kami tidak pernah berbagi stroberi?
Bagaimana jika kami tidak pernah menikmati langit yang menggelap, dengan gelato, di pantai?

Dan andai-andai lainnya, yang terasa personal. (Aku hanya khawatir kalian salah tafsir. Tapi ya, terserah saja (dari editor, wwkwkwk)). Karena yang paling penting adalah…

Bagaimana jika kami tidak saling mengusahakan untuk bertemu kembali untuk kali kedua?
Iya benar (mungkin, aku akan ceritakan pertemuan kedua ini di tulisan lain, tidak janji).
Kami bertemu lagi, di kota yang lebih jauh dari tempat di mana aku tinggal. Dan itu cukup bagiku untuk menyayanginya lebih dari sebelumnya.

Karena kini rasanya aku ingin terus mengusahakan. Mengusahakan untuk pertemuan ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan puluh, dan seterusnya.

Oh tuhan, apakah mungkin?

Sekarang aku bisa mengerti, maksud dari himbauan untuk tidak coba-coba itu.

Rindu ini seperti raksasa yang sedang tertidur. Dia ada di sana, selalu. Jangan kau bangunkan!
Fee, Fi, Fo, Fum! Dia akan mengguncang bumi, langit, hati dan seisinya. Lebih-lebih saat malam.
Ketika ungkapan sayang berujung pada rindu yang tidak terbendung.

Sialnya, tidak ada obat untuk meredakan ini.
Aku rasa, Facetime pun tidak akan menjadi solusi.

Maka sebaiknya aku tidur juga. Tidur bersama raksasa itu.

Ditulis oleh orang yang sedang jatuh cinta: Liana ZM

--

--

Nightman
Nightman

Written by Nightman

Pencatat hal-hal kecil yang terlewat, mengaku sebagai penyuka buku, musik, film, dan jalan-jalan di jam tiga dini hari.

No responses yet