The Kite Runner: Memoar Tentang Kesetiaan

Nightman
4 min readNov 19, 2024

--

Bagaimana rasanya dicintai tanpa alasan, hanya untuk mengabaikannya, lalu menyesal dan mengutuk diri sendiri? Aku pikir inilah yang dirasakan Amir, tokoh dalam novel The Kite Runner, sepanjang cerita.

Beberapa waktu lalu, aku selesai membaca novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini. Menurutku, novel ini tidak terlalu panjang, hanya sekitar 300 halaman. Aku membelinya di sebuah lelang untuk organisasi nirlaba.

Sebenarnya, aku tidak tahu apa-apa tentang novel ini sebelumnya. Aku memilihnya secara acak karena ingin membaca sesuatu dari Timur Tengah. Jujur saja, awalnya kupikir penulisnya berasal dari Iran.

Saat membaca The Kite Runner, sulit bagiku untuk tidak mengingat novel Janji Sepasang Layang-Layang yang kubaca saat SD. Keduanya memiliki kesamaan — layang-layang dan persahabatan erat antara dua orang.

Namun, The Kite Runner jauh lebih mengiris hati, lebih dalam, lebih mengerikan, lebih sedih, lebih dewasa, lebih signifikan, dan banyak lagi (ini tandanya aku nggak tahu mau jelasin apa lagi wkwkwk).

Kupikir perbedaan utamanya adalah aku membaca salah satu saat kelas lima SD, sementara yang satunya lagi sebagai orang dewasa, sehingga aku lebih memahami latar belakang dan konteks ceritanya.

Perlu kutekankan, keduanya meninggalkan kesan yang kuat. Tapi mari kita bahas lebih dalam tentang The Kite Runner.

Aku mulai menyukai buku ini ketika membaca bahwa Amir menulis cerita tentang seorang pria yang air matanya berubah menjadi mutiara. Pria ini menjadi kaya karena air matanya, tetapi akhirnya menjadi serakah dan menginginkan lebih banyak mutiara. Dalam keputusasaannya, dia membunuh istrinya untuk menghasilkan lebih banyak air mata dan mutiara.

Hassan, yang selalu mendukung Amir dan mengagumi ceritanya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah mendengarnya, Hassan menunjukkan celah dalam plot cerita dengan mengatakan

“alih-alih membunuh istrinya, pria itu sebenarnya bisa saja memotong bawang untuk membuat dirinya menangis.”

Bagiku, pernyataan ini sangat menarik.

The Kite Runner adalah novel debut Khaled Hosseini. Sebagai karya pertama, jelas bahwa novel ini mencerminkan banyak pengalaman pribadinya.

Khaled sendiri adalah seorang imigran dari Afghanistan yang mencari suaka dan menulis novel ini saat tinggal di Amerika.

Kabul, sebagai latar awal novel, digambarkan dengan sangat riuh rendah. Seperti banyak kota di Timur Tengah, kisah sehari-hari di pasar dan desa-desa Kabul terasa hidup, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam 20–30 tahun terakhir.

Dari novel ini, aku juga lebih memahami bagaimana konflik dan perang bisa mengubah sebuah kota dan mengubur kenangan. Deskripsi Kabul saat Amir masih kecil dan ketika dia kembali saat dewasa terasa sangat kontras.

Tak lama setelah menyelesaikan novel ini, sebuah utas tentang Kabul muncul di linimasa Twitter-ku. Setelah membaca The Kite Runner, rasanya seperti aku pernah tinggal di sana sendiri.

Menguras Emosi

Membaca The Kite Runner benar-benar menguras emosi. Aku tertegun ketika pertama kali membaca kutipan paling menyentuh dalam novel ini yaitu,:

“Untukmu, keseribu kalinya pun, Aku rela”

Bagaimana kalimat sesederhana itu bisa menyimpan makna yang begitu mendalam. Kita bisa memberinya makna tentang cinta yang tulus, atau kesetiaan yang mendalam, atau kasih sayang tak berujung. Apapun itu, bagi saya, kalimat “For you a thousand times over” adalah ungkapan cinta yang sempurna.

Seiring perkembangan cerita, buku ini dirajut dengan benang merah bahwa cinta tidak bisa setengah hati. Kamu harus melepaskan segalanya. Kamu harus mencoba lagi, bahkan seribu kali jika perlu.

Perkembangan karakternya juga sangat memikat. Lapisan-lapisan karakter ini begitu dalam sehingga terasa sangat kuat dan nyata.

Baik konflik eksternal maupun internal dibahas dengan intens. Pada karakter Amir, konflik internalnya terasa sangat mendalam. Di momen-momen tertentu, dia harus berpikir panjang sebelum mengambil keputusan.

Konflik eksternalnya juga sama menariknya. Kronologi bagaimana negara ini sering kali dilanda perang dan konflik memberikan wawasan baru.

Hubungan Amir dengan beberap karakter lain juga menarik untuk disimak.

Menurutku, novel ini adalah memoar tentang kesetiaan. Perjalanan untuk menemukan betapa kuat dan luar biasanya cinta. Perjalanan untuk menemukan diri sendiri. Perjalanan menuju penerimaan. Karena pada akhirnya, suka atau tidak suka, kamu harus berdamai dengan masa lalumu dan memperbaiki apa yang akan terjadi di masa depan.

The Kite Runner adalah cerita tentang belajar mencintai dengan tulus. Belajar memberi tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Belajar melihat takdir sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar ukuran hitam-putih.

Selanjutnya, untuk The Kite Runner…

“Aku menangis ketika membaca kalimat ‘For you a thousand times over’,” ujarnya suatu waktu ketika kami berbicara melalui sambungan telpon.

Kalimat tersebut datang dari Liana. Beberapa waktu lalu, aku memaksa dia untuk membaca juga The Kite Runner.

Sebelumnya, saya juga telah memaksa dia untuk membaca dua tiga buku lain. Namun, aku rasa buku Khaled Hosseini ini juga wajib dia habiskan.

Ketika tulisan ini ditayangkan, sebenarnya dia belum menyelsaikan buku ini secara utuh.

Aku sendiri kadung bersemangat dan berdiskusi mengenai detail-detail dalam buku. Tentang Kota Kabul, tentang Ayah Amir yang tidak ‘biasa’, atau pohon-pohon yang tumbuh di jalanan kota Kabul.

“Aku harap, takdir membawa Hassan ke nasib yang lebih baik,” harapnya di suatu obrolan. Di titik dia mengharap ini, Liana baru membaca hingga chapter sembilan.

Dua tiga minggu lagi, mungkin Liana akan menyelsaikan membaca keseluruhan Novel The Kita Runner. Nanti, jika dia selesai, aku akan menodongnya untuk menulis barang dua tiga kalimat untuk melengkapi tulisan ini.

To be continue….

--

--

Nightman
Nightman

Written by Nightman

Pencatat hal-hal kecil yang terlewat, mengaku sebagai penyuka buku, musik, film, dan jalan-jalan di jam tiga dini hari.

No responses yet