The Bang-Bang Club — Melihat Fotografer Perang Bekerja

Nightman
4 min readAug 3, 2024

--

The Bang-Bang Club bukan karya pertama yang berkaitan dengan perang yang saya konsumsi. Sebelumnya, malam-malam di masa SMA, saya habiskan dengan menonton film-film perang yang tayang di TV Swasta Nasional.

Topik perang selalu menjadi topik yang saya sukai. Bukan karena saya suka untuk berperang tentu, namun mengamati bagaimana perang dan konflik terjadi serta dampak yang diberikan selalu memberi satu dua pelajaran berharga.

Barulah 3 atau 4 tahun terakhir, saya menemukan istilah baru, yaitu, Fotografer Perang. Sederhananya, Fotografer perang adalah seseorang yang mengambil foto dalam situasi konflik atau perang.

Setelahnya, saya banyak menghabiskan malam-malam untuk menyaksikan film-film dokumenter perang dan konflik yang ditayangkan di channel Youtube Vice, atau channel lain yang merekomendasikannya.

Yang menjadi menarik dari tontonan mengenai film dokumenter perang adalah, bagaimana para jurnalis fotografer bekerja di garis depan. Mereka menangkap gambar yang menggambarkan realitas dan dampak dari konflik tersebut.

Kerusakan, luka, kematian, dan bagaimana kehidupan sehari-hari orang-orang yang terdampak perang jadi sisi yang biasanya diungkap oleh para fotografer perang.

Bulan July lalu, saya menyelesaikan buku The Bang-Bang Club. Buku mengenai empat fotografer perang yang meliput konflik berdarah di Afrika Selatan di medio 1990 hingga 1994. Empat jurnalis fotografer tersebut adalah Kevin Carter, Greg Marinovich, Ken Oosterbroek, and João Silva.

Buku ini sendiri ditulis oleh Greg Marinovich dan João Silva. Ken Oosterbroek tertembak dan meninggal dalam tugas jurnalistiknya. Sementara, Kevin Carter mengalami depresi dan meninggal tak lama setelah konflik di Afrika Selatan tersebut reda.

Konflik yang terjadi di Afrika Selatan tersebut menjadi latar yang cukup menarik perhatian dunia. Konflik ini sederhananya asalah konflik rasial melawan rezim Apartheid yg berkuasa nyaris setengah abad.

Akan tetapi di buku ini, si penulis yaitu Greg Marinovich juga bercerita mengenai bagaimana dirinya melakukan reportase di bebeerapa tempat lain. Salah satu yang sempat dia kunjungi adalah konflik di negara Balkan.

Namun, perang dan konflik di Afrika Selatan memang salah satu yang menarik. Hal ini mengingat konflik rasial-aparheid yang pasa akhirnya berakhi ini akan merubah lanskap politik secara signifikan di negara tersebut. Di akhir tulisan saya akan menyinggung kembali mengenai hal ini.

Si penulis, Greg, bercerita bahwa bukan hanya dia dan tiga temannya bukan yang melakukan reportase dan liputan ketika konflik ini terjadi. Ada beberapa jurnalis lain yang bahkan lebih terkenal turut terlibat dalam liputan berdarah konflik ini.

Namun, keempat orang ini termasuk salah satu yang intens untuk menangkap langsung suasana konflik di negara itu. Mereka bekerja untuk beberapa kantor berita kawakan macam, AP, Reuters, dan beberapa media lain. Kegigihan dalam melaporkan konflik ini dengan tangkapan kamera mereka inilah yang membuat empat orang tadi dijuluki “Bang Bang Club”.

Sebagai buku nonfiksi naratif, buku ini memberi gambaran yang jelas sekali mengenai bagaimana Jurnalis Perang bekerja. Gambar-gambar yang mereka tangkap bisa menjadi rujukan bagi dunia luar untuk memberi tekanan dan kecaman misalnya.

Luka dan kematian menjadi barang yang harus mereka bingkai dalam frame yang harus mereka bidik.

Dikemas dalam bentuk catatan non fiksi naratif, penulis memberi konteks dan cerita yang cukup utuh dari sudut pandang seorang jurnalis, yang berusaha untuk berimbang dan objektif. Namun, tak jarang mereka merasa dilema antara harus memberikan pertolongan terhadap korban atau terus melakukan tugasnya sebagai jurnalis atau fotografer perang.

“Good pictures. Tragedy and violence certainly make powerful images. It is what we get paid for. But, there is a price extracted with every frame: some of the emotion, the vulnerability, the empathy that makes us human, is lost every time the shutter is released” — Greg Marinovich dan João Silva, The Bang-Bang Club.

Jurnalis memang bukan bagian langsung dari konflik yang terjadi. Dan saya rasa inilah yang dilema moral yang akan dirasakan para jurnlais perang.

Saya sendiri pernah menjadi seorang jurnalis beberapa tahun lalu. Bahkan seharusnya menyebut diri jurnalis saja belum, namun meskipun demikian, tugas saya memang tak seberat jurnalis perang. Tidak ada dilema moral besar yang saya rasakan.

Dalam kadar yang paling ringan, saya sepertinya juga merasa tak nyaman untuk menulis hard news berita kecelakaan dan kebakaran yang terjadi misalnya. Ketika menjadi jurnalis tersebut, saya beberapa kali melihat langsung peristiwa kecelakaan dan lebih sering saya hanya mengamati dan mencoba membantu jika bisa. Bisa jadi, saya jurnalis yang payah juga ya. Namun, saya selalu merasa tak berkenan untuk bertanya-tanya kepada korban untuk musibah yang mereka alami.

Inilah mengapa, saya memberi hormat setinggi-tingginya kepada jurnalis perang. Mereka berani mengambil risiko untuk terjun ke medan perang dan mengabadikan momen-momen untuk dikabarkan ke dunia luar.

Dalam konteks buku ini, Kevin Carter, Greg Marinovich, Ken Oosterbroek, and João Silva turun langsung menyaksikan konflik berdarah di Afrika Selatan. Mereka mengambil gambar bagaimana konflik dan perang menunjukan wajah asli mereka. Bagaimana konflik dan perang menunjukkan jauhnya penghargaan terhadap martabat manusia. Narsi yang sebenarnya jauh lebih penting.

Sebagai penutup, konflik di Afrika Selatan, yang dibahas dalam buku ini juga menambah pemahaman terhadap betapa buruk dan mengerikannya sistem Apartheid. Dan mau tidak mau, kita harus berkaca pada situasi sekarang, di mana gaya dan kekerasan politik Apartheid terjadi di Palestina.

Namun, dunia memang lebih sering amnesia untuk hal-hal penting yang terjadi di depan mata. Bagaimana peristiwa buruk bisa terjadi berulang seakan kita tak belajar apa-apa.

--

--

Nightman
Nightman

Written by Nightman

Pencatat hal-hal kecil yang terlewat, mengaku sebagai penyuka buku, musik, film, dan jalan-jalan di jam tiga dini hari.

No responses yet