Aku mengakui bahwa menulis bagiku lebih menyenangkan dibanding berbicara langsung. Ketika aku berbicara, aku selalu gugup, lupa atau tidak tahu yang ingin dibicarakan, dan terpatah-patah. Dan hal ini telah berlangsung lama.
Suatu waktu, dengan ide gila yang entah dari mana, aku mencoba menjajal stand up comedy untuk berlatih artikulasi dan intonasi berbicara. Yak, benar ini bunuh diri. Setelah sekitar 3 kali mencoba, aku gagal memperbaiki artikulasi dan intonasi bicaraku, dan aku tidak lucu sama sekali.
Aku tak akan pernah melakukan hal ini lagi di masa mendatang. 🙁
Di lain hal, menulis memberiku ruang. Ruang untuk berhenti sejenak dan memikirkan kembali kata-kata yang ingin aku taruh di kalimat-kalimat yang aku buat. Menulis memberi jeda untuk sedikit berpkir dan menyampaikan sesuatu lebih jelas.
Untuk menulis pun aku masih merasa kurang cakap. Kadang, aku merasa kesulitan menjelaskan sesuatu yang mudah. Aku merasa kesusahan menceritakan kembali hal-hal yang aku ingin ceritakan.
Jangan berbicara mengenai cara membuat kalimat yang puitis nan romantis, kalimat-kalimat yang aku buat biasanya hanya kalimat sederhana yang kadang sesuai SPOK pun tidak. Aku merasa sering menaruh tanda baca sesuai apa yang aku mau, bukan sesuai ejaan yang telah disetujui bersama.
Namun, yang paling menyebalkan dari semua hal ini adalah, ketika aku menulis-karena punya jeda untuk berpikir-aku jadinya sering mendebat pemikiran-pemikiranku sendiri. Hasilnya, ya kadang tulisanya tidak akan selesai-selesai, karena aku terlalu banyak mendebat diri sendiri.
Di samping itu, keinginan untuk menulis dengan argumen atau pemikiran yang kuat, serta setidaknya politically correct kadang membuat kalimat-kalimat yang keluar jadi saling bertabrakan yang pada akhirnya membuatku urung mengatakan sesuatu.
Akan tetapi, perdebatan tidak selalu muncul langsung. Kadang kala, aku merasa kalimat yang aku tulis jelek dan tak berdasar. Hal ini membuat kesal karena aku tidak bisa edit dan keburu sudah diupload.
Seperti tulisan kemarin, aku menulis bahwa ada orang yang bisa bahagia karena mendapat hadiah kecil dari seorang teman. Dan aku sering beranggapan bahwa aku bukan orang yang masuk dalam kategori itu. Tetapi aku salah, hari ini, Chika, seorang teman, memberiku hadiah kecil dan aku senang.
Namun, ada kebiasaan buruk yang baiknya aku hilangkan yaitu, aku sering merasa was-was jika di suatu waktu aku terlalu merasa bahagia dan takut hal-hal tidak mengenakkan akan terjadi di waktu selanjutnya. Padahal, sering sekali hal-hal buruk yang aku pikirkan tak pernah benar-benar terjadi.
Aku sendiri mengenal Chika pertama kali di Rumah Pintar di Denpasar dalam sebuah acara yang digelar Act Global. Setidaknya begitulah urutan pertemuan yang aku ingat sebelum dia membantah hal ini.
“Aku ingat bagian itu, kita juga berbicara mengenai Djenar Maesa Ayu, tapi itu bukan yang pertama,” sanggahnya di sebuah grup percakapan whatsapp.
Dia kemudian menuturkan bahwa obrolan pertama kami adalah ketika dia bertanya kepadaku soal kegiatan yang akan aku ikuti di Portugal. Dia bercerita bahwa dalam hatinya dia berkata,
“oh ini anak yang katanya mau ke Portugal itu”
Aku tidak ingat sama sekali sebenarnya. Menurutnya, waktu itu, aku tidak fokus karena sedang melakukan video call. Ingatanku mentok. Aku hanya ingat ketika aku berbicara dengannya soal Pramoedya Ananta Toer dan Djenar Maesa Ayu.
Setelah itu, aku juga sempat bertemu dengannya di Portugal, dan beberapa pertemuan lagi setelahnya. Kebanyakan di acara Act Global. Sisanya, kami sepertinya jarang bertemu. Sepulang dari Portugal, dan aku juga sibuk menyelesaikan skripsi.
Aku jadi teringat tulisan Teddy Kusuma, penulis novel “Semasa” yang menulis di blognya mengenai hubungan dengan seseorang. Dia menulis,
“Ide soal keluarga sering kali ditelan mentah-mentah, seolah akan terus ada tanpa mesti dirawat. Bagaimana ia berdiri saat berhadapan dengan kenyataan-kenyataan? juga pilihan-pilihan?”
Aku mempunyai beberapa teman yang dulu rasanya dekat, namun sekarang hubungan kami kian menjauh. Dan sepertinya, untuk Chika, aku tak ingin jarak itu terus meregang.
Dan yang aku lakukan adalah merawat pertemanannya..
Tahun lalu dia kembali ke kampungnya di Purbalingga, dan rentang 1 tahun sebelumnya juga aku rasa tak pernah bertemu. Tak banyak yang aku lakukan, namun aku menemukan blog dimana Chika menulis dan berbicara jujur mengenai dirinya.
Blog tersebut rasanya memberi kedekatan. Aku rasa Chika menulisnya dari hati. Cerita-ceritanya selalu aku tunggu. Cika menurutku adalah penulis yang telaten. Penulis yang tau cara menyampaikan sesuatu. Membuat hal-hal yang sederhana bisa terasa begitu bermakna.
Dia lihai membuat cerpen, cerpennya berjudul fiksi menurutku mempunyai pembuka yang sangat menyenangkan untuk dibaca. Esai-esai dan cerita personalnya seru untuk diikuti. Puisi-puisinya juga selalu menikam tajam.
Sepertinya berlebihan namun begitulah adanya. Di banyak hal, dia juga mempunyai pandangan-pandangan yang unik. Ide-idenya, juga terkadang bisa membuatmu mengernyitkan dahi dan membuatmu berkata, “kenapa aku tidak terpikirkan ya.”
Tadi pagi, dia mengirimkanku kopi dan roti serta ucapan untuk lebih bersemangat bekerja. Aku sepertinya jarang sekali memberi atau mendapatkan hadiah dari orang lain. Dan jujur, ketika mendapatkanya, aku bisa merasa sedikit percikan dopamin di kepala.
Entahlah, label teman seperti apa yang Chika taruh kepadaku, namun, untuk sekarang dia merupakan teman yang baik. Dan, hadiah darinya berupa sebungkus kopi dan roti di pagi hari, tidak buruk.