Sebelum memulai tulisan ini, saya merenung agak panjang. Apa sih tujuan hidup?
Pertanyaan klise yang sering abang-abangan kampus semester 13 dakwahkan kepada Maba yang baru masuk sebuah organisasi. Pertanyaan ini biasanya akan berjalan jauh dan terus membahas hal-hal lain yang kadang kurang bermakna.
Tahun 2021 lalu, ketika pandemi covid-19 sialan itu melanda, dan saya belum lulus kuliah, seperti kebanyakan orang saya juga mengalami apa yang disebut dengan quarter life crisis. Bimbang dengan pilihan hidup yang diambil. Ragu dengan keputusan-keputusan yang dijalani. Serta mulai menyalahkan hal-hal lain di luar kendali.
Saya bertanya-tanya, memang, apa sih tujuan hidup di dunia ini?
Cerita panjang yang dipendekkan, entah bagaimana aku berhasil keluar dari perasaan rapuh itu. Hidup berlanjut, dan pelan-pelan saja, mensyukuri apa yang hidup beri. Dua tiga tahun setelahnya juga masih begitu.
Tapi tahun ini berbeda. Aku rasa, tuhan memberi jalan.
5 Mei 2024 lalu, aku mengirim pesan kepada Liana. Lalu dia membalas. Dan setelahnya, hingga tulisan ini ditulis, kami sudah berhubungan (baca: pacaran) tepat hampir satu bulan.
Seperti bocah alay pada umumnya, iya, kami sedang merayakan monthiversary.
Bulan-bulan sebelum kami mulai berpacar-pacaran, aku rasa hidupku monoton dan bahkan tanpa arah. Aku kerja senin-jumat, 9–5. Setelahnya, aku pulang, mampir ke warung kopi, duduk berlama-lama kadang ditemani sebuah buku.
Rutinitas ini aku pikir sudah sampai taraf membosankan. Aku tinggal di kota yang bukan kota kelahiran. Meskipun sudah tinggal hampir 6–7 tahun, ada bagian kecil yang rasanya masih belum menyatu. Aku tetap merasa ada jarak dengan kota tersebut.
Jangan salah, aku sebenarnya menyukai sekali kota ini. Rumah. Aku menyebutnya rumah untuk 6–7 tahun terakhir.
Namun, karir yang tidak kemana-mana, rutinitas yang monoton, hidup yang rasanya tanpa tujuan pada akhirnya membuatku jenuh juga. Jujur saja, aku merasa letih.
Aku memikirkan banyak ide untuk keluar dari lingkaran tersebut. Dari ide busuk seperti mendirikan startup, hingga mimpi untuk melanjutkan studi jadi opsi yang terus terngiang di kepala.
Dan ya, sebenarnya, tak banyak opsi yang tersedia yang bisa membuat perubahan drastis. Selain itu, umur terus bertambah. Teman-teman rasanya sudah melangkah jauh, sementara aku masih di sini-sini saja.
Atau di sisi yang lain, seorang teman kuliah yang rasanya masih terlalu muda, meninggal dunia. Meski, aku tak terlalu dekat dengannya, aku agak sedih mendengar kabar tersebut. Aku rasa, pertanyaan tentang hidup kembali menyeruak, dengan tambahan, setelah ini hidup akan ke mana sih? Apakah akan terus begini saja?
Tapi, begini titik baliknya; Seek it out and ye shall find, seru Ryan Tedder di salah satu lagu One Republic.
Lima bulan lalu, ketika aku pertama kali mengirimkan pesan ke Liana, seperti percobaan-percobaan lain, aku tak terlalu berharap banyak. Bagi Liana, ada banyak alasan untuk tidak menggubris pesan yang aku kirim.
Namun, seperti banyak takdir, dia membalas pesan yang aku kirim, dan dunia rasanya menuntun kami untuk bersama.
(Tulisan ini bisa lebih panjang, tapi besok kerja, jadi udahan sampe sini dulu, ntar aku bikin part selanjutnya)
“Kau tahu, yang paling membuatku yakin dengan dirimu adalah, sekarang aku tahu, apa yang harus aku lakukan. Kamu memberiku arah. Ya, akan ada banyak hal di depan, tapi aku rasa, bersamamu, akan lebih mudah.”
Aku mengatakan kalimat ajaib itu, dia menangis, (jika di dunia nyata harusnya kami berpelukan, atau setidaknya berpegangan tangan), dadaku berdebar.
Dia membalas, “Aku juga sayang kamu, Harun!”
Aku berpikir agak panjang sebelum menemukan judul yang pas untuk tulisan kali ini. Lalu aku mengingat beberapa hari lalu aku getol sekali memainkan album Duo favoritku, yaitu Banda Neira, dan khusus untuk album “Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti”
Ada beberapa lagu yang aku putar terus menerus, misalnya, Pelukis Langit, atau Derai-Derai Cemara. Tetapi, suatu waktu, lagu “Sampai Jadi Debu” juga berputar di urutan album tersebut, dan aku terhenyak ketika bagian;
Selamanya, Sampai kita tua, Sampai jadi debu,
Ku di liang yang satu, Ku di sebelahmu
Seperti, cerita di balik lagu tersebut, aku dan Liana juga mau, selamanya, sampai kita tua, sampai jadi debu!