Per pukul 02:16 WITA, tanggal 13 Oktober 2024, dari 209 orang yang melakukan ratings dan 42 orang yang memberi review, buku Museum Teman Baik mendapatkan rating 4.15. Rating ini saya pantau di platform Goodreads.
Skor penilaian tertinggi tentu adalah 5. Banyak yang mengulas dan memberi kesan positif bagi buku ini. Dan hingga pukul 02.22, di tanggal yang sama, ada tiga orang yang memberi nilai buku ini sebagai 3/5, atau dalam istilah Goodreads, tiga dari lima bintang. Entahlah, maknanya sama sepertinya.
Saya agak bingung harus mulai dari mana ketika menulis review untuk antologi ini. Antologi memang kadang menyusahkan untuk diulas. Jika terlalu pendek, rasanya akan kurang komprehensif. Dan, jika terlalu panjang juga rasanya akan membosankan.
Jadi mari menjadi basic saja.
Ada sepuluh cerita di antologi dengan jumlah halaman 249 ini. Dua tiga pengarang sudah saya baca karyanya sebelum membaca buku ini. Sisanya, ada penulis yang saya baru tahu dan baca tulisannya.
Dari sepuluh cerita, ada satu komik, atau sebut saja cerita bergambar.
Antologi ini diterbitkan oleh Post Press, salah satu penerbit Indie di Jakarta sana. Kalau tidak salah, mereka cukup selektif dalam menerbitkan buku. Saya sendiri mempunyai beberapa buah buku terbitan mereka. Sepertinya, akan dibuat postingan terpisah untuk mengurutkan terbitan mana yang paling saya suka, jadi di tulisan ini mari fokus saja ke Antologi yang meskipun diterbitkan sebulan/dua bulan yang lalu ternyata sudah naik cetak kedua.
Sebelum menulis tulisan ini, di bulatan-bulatan bagian atas Instagram atau yang lazim disebut instastory, saya membuat unggahan yang mengatakan buku ini adalah buku yang renyah dibaca di akhir pekan.
Kenapa renyah? Ya karena topik yang dibahas tidak terlalu berat. Yaitu tentang pertemanan.
Semenjak melihat unggahan mengenai open submission untuk antologi ini beberapa bulan lalu, saya sendiri tak sabar menanti hasil dari buku ini akan seperti apa. Apalagi, topik yang dibahas adalah topik yang cukup familiar, yaitu pertemanan.
Ada beberapa spektrum pertemanan yang coba diulas dari sepuluh cerita pendek dalam antologi ini. Pertemanan masa kecil, pertemanan lintas generasi, hingga pertemanan dewasa.
(Maunya objektif, tapi bakal mikir, dan menulis jam 02;55 tuh enaknya nggak mikir, jadi kalo malas baca tulisan yang agak nggak objektif bisa sampai di sini, soale saya ingin meracau saja)
Cerita yang paling saya sukai adalah cerita dari Mba Reda Gaudiamo berjudul “Pada Suatu Senin.”
Tidak mengecilkan cerita lain yang lebih penting secara tema, atau bagus secara penulisan, cerita Mba Reda bagi saya sendiri adalah cerita yang emosinya paling bisa saya rasai.
Berlatar di Jakarta dan hujan, serta perasaan muram dan kerinduan karakter utama pada seseorang membuat cerita ini berhasil membuat saya memikirkan apa yang akan terjadi kepada si karakter setelahnya. Atau menebak-nebak, latar belakang cerita dari si karakter.
Setelah selesai membacakan cerita ini ke Liana, pacarku, (yang setelah saya tes, tetap menyimak meski terpisah 404 KM dan dihubungkan jaringan telepon whatsapp) menganggap cerita ini juga berkesan.
“Yang paling aku suka dari cerita ini adalah latar suasananya yang muram, dan kerinduan si karakter yang rasanya dalam sekali,” ujarku.
“Aku setuju, aku rasa, si karakter mempunyai sejarah yang panjang dengan teman dia si penulis, rasanya sudah mempunyai koneksi tersendiri,” timpalnya.
Saya sendiri tahu mba Reda bukan sebagai penulis, namun sebagai penyanyi dengan suara yang bagus sekali. Tentu suara halus ini datang dari lantunan lagu yang dinyanyikan dalam duo AriReda. Yang mempunyai spesialisasi dalam musikalisasi puisi.
Jika berjasa terlalu berlebihan, AriReda memang membuat puisi-puisi yang lebih banyak dibaca para pujangga di forum-forum sastra bisa lebih populer melalui lantunan gitar akustik dan nada-nada yang nyaman di telinga.
Aku rasa, setengah puisi-puisi bagus yang aku tahu, adalah hasil mencari setelah mendengar musikalisasi puisi yang dibawakan AriReda.
Setelahnya, saya membaca Aku, Meps dan Beps, karya Mba Reda dan Anaknya. Selain itu ada juga Na Willa, yang ternyata bentuk lain Aku Meps dan Beps. (ini belum ditulis reviewnya, jadi kayaknya akan aku tulis di waktu lain.
Oke kembali ke antologi, Museum Teman Baik, cerpen terakhir dari Chynta Hariadi rasanya juga perlu dibahas. Chynta membahas mengenai pertemanan dewasa dan pertemanan yang bisa berakhir.
Dan aku rasa ini bisa dekat sekali karena, beberapa pertemanan, kadang memang berakhir. Bisa jadi, kita yang berubah, atau hubungan pertemanan memang tidak dijaga.
Kemarin aku sedikit terenyuh ketika membaca sebuah status whatsapp dengan tulisan, “Proses pendewasaan menyadarkanku bahwa sekarang, aku bahkan tidak punya teman lagi, namun aku bersyukur aku masih punya anak sebagai teman yang selalu menemani”
Bukan hanya menyusut, terkadang pertemanan juga berubah bentuk — dari yang dulu terasa dekat, kini bisa menjadi hubungan yang canggung dan penuh jarak, atau bahkan sekadar kenangan.
Oke, 03;21, sepertinya tulisan ini akan saya akhiri saja. Sebenarnya sih ingin lanjut saja. Lihat, dari sepuluh cerpen, saya hanya bisa mengulas dua cerpen saja. Saya akan mengakui saja bahwa saya kesulitan mengulas antologi karena bingung, harus bahas bagian yang mana dulu ahahahahaha.
Sepertinya harus ada bagian penutup atau semacam kesimpulan gitu kali ya.
Museum Teman Baik harusnya sih memang bacaan ringan, tapi, ya, engga juga sih. Paling tidak, selesai membaca buku ini, kita akan merenung tentang teman-teman yang kita punya. Tentang gaya pertemanan yang cocok. Tentang cerita-cerita yang rasanya pernah terjadi dalam hidup yang mirip dengan apa yang diceritakan dalam buku. Tentang bagaimana pertemanan seperti hubungan-hubungan lain juga harus dirawat dan dijaga. (b)
PS: Setelah membuat draft di google doc, saya melihat handphoe untuk memilih gambar untuk melengkapi tulisan ini, saya menengok kembali ke aplikasi whatsapp dan menemukan saya mengunggah story whatsapp dua orang teman, atau mantan rekan kerja;
Diuplaod karena rasanya, di foto ini kami cukup akrab.