FC Braga bagi saya klub yang tidak terlalu asing. Saya sering melihat mereka malang melintang di Liga Malam Jumat, sebutan untuk liga Eropa. Kasta kedua kompetisi Eropa yang pamornya tidak sementereng Liga Champions.
Saat mendapatkan kepastian untuk berangkat ke Portugal dan akan tinggal di Braga, saya sudah mematok akan pergi menonton pertandingan mereka, setidaknya satu kali.
Selain itu, pengurus host organisasi yang akan menjadi tempat saya tinggal di Braga mengatakan bahwa mereka mempunyai relasi yang dekat dengan klub tersebut. Ketika dia datang ke Indonesia, dia mengatakan, “Ohh kamu tahu FC Braga? Aku akan siapkan satu tiket untukmu ketika kamu telah tiba di sana.”
Saya semakin tak sabar.
Saya tiba di Braga bulan Maret 2019. Liga sepakbola telah berjalan. Pertandingan terdekat setelah saya sampai di Kota tersebut adalah pertandingan kandang melawan FC Porto. Salah satu klub yang sukses di Portugal dan kebanggaan kota sebelah.
Saya mencari di internet untuk mendapatkan tiket pertandingan. Tak menemukan informasi berarti, justru aku menemukan, jarak Stadion dari tempat saya tinggal kurang lebih hanya hanya 5 Kilometer. Jika jalan kaki, hanya akan memakan waktu sekitar 1 jam lebih.
Saya tahu satu jam hanya perkiraan dari peta saja, namun, untungnya, seorang teman meminjamkan sepedanya. Jadilah saya nekat, tanpa tiket untuk datang ke pertandingan tersebut.
Tujuan saya datang ke stadion tersebut sebenarnya adalah ingin merasakan atmosfer pertandingan saja. Saya pikir pertandingan ini bisa disebut dengan big match, lantaran FC Porto kala itu sedang berada di puncak kelasmen.
Benar saja. Tiba di stadion, orang-orang sudah ramai berkumpul.
Saya melewati pusat kota dan melihat orang-orang telah mengenakan baju dan syal warna merah, warna dominan klub kebanggan kota Mereka.
Di bus-bus, puluhan orang nampak telah menunggu untuk dibawa ke stadion. Tua muda berbaur.
Jarak dari pusat kota ke Braga Municipal Stadium, nama stadion milik FC Braga tidak jauh. Jadinya, orang-orang juga banyak terlihat berjalan kaki bersama-sama ke Stadion. Sore itu tidak terlalu terik, cuaca yang pas untuk menonton pertandingan sepakbola.
Sebagian dari mereka ada yang mulai menyanyi dan mengobrol dengan sesama teman tentang pertandingan yang akan segera dimulai. Anak-anak kecil yang digendong di pundak ayahnya juga nampak bahagia.
Satu jam sebelum pertandingan, saya telah tiba di stadion. Saya tak bisa masuk tentu, karena tak mempunyai tiket. Dua orang petugas, di luar gerbang utama telah melakukan pemeriksaan tiket untuk para penonton yang datang. Yang diberikan masuk hanya orang-orang yang telah memegang tiket.
Cukup kecewa karena tak bisa mendekat langsung ke stadion, saya melihat beberapa orang naik ke puncak bukit. Saya mengikutinya. Saya pikir, jika posisiku benar-benar cukup tinggi, aku bisa melihat langsung rumput hijau lapangan, lebih-lebih bisa menonton pertandingan yang sedang berlangsung.
Dan benar demikian, setelah menerobos pagar dan bersepeda cukup ekstrim ke puncak bongkahan bukit, stadion bisa terlihat jelas. Namun, lapangan hanya bisa terlihat sepotong saja. Dari puncak bukit, aku melihat tribun cukup penuh oleh penonton. Sorak sorai dan chants juga terdengar bergemuruh.
Ketika pertandingan telah dimulai, saya ke bar dekat stadion. Orang-orang juga sudah banyak berkumpul di sini. Di Bar ini yang menonton kenbanyakan orang tua-orang tua. Ada yang sambil bermain kartu. Atau sambil mengobrol di sore akhir pekan. TV yang ditampilkan juga tak terlalu besar. Sesekali aku dengar ada yang teriak seperti mengumpat kala terjadi sesuatu yang tak mengenakkan bagi tim tuan rumah.
Pertandingan berakhir dengan kekalahan tipis bagi tuan rumah dengan skor, 2:3. Sejak itu, aku makin tak sabar untuk merencanakan untuk bisa menonton langsung di tribun.
Menunggu waktu untuk bisa menonton, aku menemukan di internet bahwa stadion lama milik FC Braga sebelum pindah ke stadion Braga Municipal Stadium ternyata berlokasi di dekat apartemen.
Jadilah suatu sore saya melakukan ziarah. Nama stadion ini adalah, Estádio 1° de Maio. Sepertinya stadion ini merupakan bangunan lama. Tak ada kursi single seat bagi penonton. Bagian luar stadion juga mulai tak terawat dan lumut menempel di sana-sini.
Semakin tak sabar untuk menonton, saya memutuskan untuk membeli tiket secara mandiri. Saya tak terlalu berharap juga kepada teman yang dulu menjanjikan. Selain itu, aku bisa memilih pertandingan kandang melawan tim yang tak terlalu terkenal dengan harapan tiket akan lebih murah.
Suatu sore, aku official store dan saya pun mendapatkan satu tiket pertandingan kandang FC Braga. Aku membeli tiket paling depan. Di boks timur, seksi A2. Aku lupa kursi nomor berapa.
Inilah pengalaman nonton pertandingan sepakbola langsung di dalam stadion di Eropa yang aku alami. Pertandingannya sendiri tak terlalu menarik waktu itu. FC Braga juga menang.
Namun, saya sendiri merasakan perasaan yang surreal. Memang di Indonesia saya pernah menonton pertandingan sepakbola secara langsung, namun melihat pertandingan kelas Eropa tentu rasanya berbeda. Permainan lebih rapi. Rumput lapangan juga terlihat cukup bagus.
Hari itu memang tak terlalu ramai oleh penonton. Akan tetapi, saya masih merasakan atmosfer dukungan dari beberapa suporter yang tetap menyanyi sepanjang laga.
Oh ya, bagian yang penting, kenapa stadion ini di judul aku beri kata unik, ya karena bentuknya yang tidak lazim. Stadion ini dibangun di belahan bukit di bagian pinggir kota. Tak ada tribun di belakang gawang bagian kanan karena di bagian tersebut masih ada bukit.
Stadion ini terdiri dari dua tribun, sebut saja tribun timur dan barat. Namun, kedua tribun ini rasanya benar-benar terpisah. Tribun barat, masih dibangun di atas belahan bukit, sementara tribun timur benar-benar dibangun terpisah dan jika dilihat dari luar, bentuknya jadi seperti sebuah benteng yang belum selesai. Dua tribun ini hanya dihubungi oleh semacam tali yang menghubungkan tribun satu sama lain.
Setelahnya, saya pergi untuk menonton satu pertandingan lagi. Kali ini aku pergi bersama beberapa teman. Dan saya menonton dari tribun lantai dua. Tak ada yang terlalu spesial untuk diceritakan yang kedua kali ini.
Kecuali, temanku berhasil membuat pesawat kertas yang mendarat hingga ke lapangan. Sisanya, pertandingannya tak terlalu menarik. FC Braga menang dengan skor yang entah berapa aku lupa.
Pengalaman terakhir ke stadion ini sebelum saya kembali ke Indonesia lebih seru lagi. Organisasi meminta untuk menjadi volunteer di acara pertandingan sepakbola antar klub seluruh eropa namun usia -16 kalau tidak salah.
Karena di gelar di kompleks stadion, saya bisa masuk dan turun langsung serta menginjak rumput stadion ini. Rumputnya sangat halus dan subur. Satu lagi yang menarik, stadion ini dilengkapi dengan pusat pelatihan yang lengkap. Ada sekitar kurang lebih 10 stadion latihan yang berada di sekitar stadion. Lapangan latihan ini tentu mempunyai standar rumput yang hampir sama dengan stadion utama.
Tak heran memang klub sepakbola di Eropa bisa mempunyai prestasi yang bagus. Bisa jadi ya, karena fasilitas sudah begitu memadai dan mereka hanya perlu berlatih dengan baik.
Sisanya, di kegiatan relawan tersebut, saya juga bertemu dengan bek kiri timnas Jamaika. Waktu itu dia menjadi pelatih salah satu tim. Saya sempat mengobrol dengannya, dan dia memberi petuah-petuah yang bagus.