Narcosis: Tetang Ratapan dan Kehilangan

Nightman
5 min readNov 4, 2023

--

Source

Sejak berakhirnya pandemi Covid-19 yang menyebalkan, di Bali, acara-acara off air yang seru tampak mulai banyak diselenggarakan lagi. Mulai dari acara-acara mainstream yang diselenggarakan pemerintah, maupun acara atau diskusi kreatif yang digelar oleh komunitas-komunitas.

Balebengong bahkan membuat kurasi acara yang bisa didatangi setiap minggunya. Cukup menyenangkan.

Rasa-rasanya kenormalan lama telah kembali. Dulu sekitar medio tahun 2018/2019 an, bisa tiap minggu pergi mengikuti acara atau diskusi yang digelar di Denpasar dan sekitarnya. Yang paling sering saya kunjungi tentu Bentara Budaya, acara-acara seninya selalu menyenangkan. Atau membaca buku dan ikut diskusi-diskusi kecil juga tak kalah menarik.

Tak jarang saya juga ikutan, acara-acara korporat atau pemerintahan yang membosankan tapi cukup puas karena bisa dapat makan siang gratis. Hingga, ikutan acara-acara BEM atau UKM di kampus tempat saya berkuliah untuk mendapatkan sertifikat, maklum ada tuntutan untuk memenuhi standar SKP. Ahh bahkan saya agak lupa SKP kepanjangan dari apa.

Kembali lagi, tahun ini, bahkan mulai dari tahun lalu, acara-acara demikian mulai kembali banyak digelar. Ahh iya, yang paling kentara juga mulai banyak terlihat baliho-baliho besar yang terpampang di kawasan wisata yang menampilkan promosi acara di bermacam restaurant, cafe atau club.

Seharusnya, ini kabar baik. Karena ekonomi mulai bergerak dan semoga bisa berlari, dan bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Bali.

Ahh iya, tentunya saya tidak akan membicarakan hal-hal berat seperti pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Saya tentu bukan ahlinya.

Tulisan ini sendiri hanya ingin mengulas film yang saya tonton beberapa hari lalu di Europe on Screen 2023. Seperti yang saya uraikan di paragraf awal tulisan ini, acara-acara kreatif kembali bermunculan di Kota Denpasar. Sudah sejak beberapa bulan lalu, satu dari sedikit perpustakaan atau tempat yang menyedikan buku di Denpasar yaitu, Taman Baca Kesiman mulai menyelenggarakan diskusi dan acara lagi. Saya pikir ini hal yang positif, bagi saya yang tidak terlalu suka hingar bingar dan suara musik jedag-jedug, pilihan membaca atau mengikuti diskusi di TBK jadi kegiatan yang cukup oke.

Nah, salah satu acara kreatif yang di gelar di Denpasar bulan ini adalah Europe on Screen (EOS). Secara sederhana, acara ini merupakan acara pemutaran film-film dari Eropa. EOS sendiri akan digelar mulai tanggal 16 hingga 25 Juni. Serentak di 7 kota di Indonesia. Salah satunya di Denpasar.

Di Denpasar, penayangan film dilangsungkan di dua tempat. Pertama di Alliance Francaise. Kedua di MASH Denpasar. Jika kurang familiar dengan dua tempat di atas, bisa langsung cari di pencarian google.

Sejauh ini saya baru menonton dua film saja. Narcosis (Film dari Belanda) dan Beautiful Minds (Film dari Prancis). Di tulisan ini sendiri, saya akan membahas Narcosis. Untuk film Beautiful Minds, saya akan memberikan komentar lain kali sahaja. Semoga tidak lupa. Namun, yang pasti keduanya film yang bagus.

Tidak ada ekspektasi apa-apa saat menonton Narcosis. Bahkan dari judul, saya merasa saya akan menonton film tentang Narkoba. Maklum, saya menghabiskan serial Narcos dan sodara-sodaranya, hingga kadang supaya terlihat gaul, saya mengumpat dengan kata, “El cabron” ke beberapa teman. Jangan ditiru.

Namun, usai menonton, film ini sama sekali bukan tentang narkoba-narkobaan. Lebih dalam, film ini membahas tentang cara dan sikap kita dalam menerima kehilangan.

Sebelumnya, usai menonton, Saya langsung mencari tahu sedikit tentang film produksi Belanda ini. Negara, yang baru saja mengakui kalau Indonesia merdeka di tahun 1945. Narcosis sendiri mempunyai makna sebagai situasi atau kondisi dan gejala kehilangan kesadaran yang terjadi saat menyelam di kedalaman.

Nah sedikit cerita, Narcosis sendiri berkisah tentang suatu keluarga (Suami-isteri, dan dua orang anak) yang kehilangan sosok penting dalam keluarga. Dalam film ini kebetulan, Sang Ayah yang berprofesi sebagai penyelam hilang kontak ketika melakukan penyelaman. Sebuah peristiwa Narcosis. Namun, jika disederhanakan sang ayah hilang atau sebut saja meninggal dunia.

Inilah yang menjadi tema utama film ini yaitu, kehilangan.

Filmnya sendiri diceritakan dengan alur maju mundur. Dan dalam filmnya, setelah satu tahun kematian sang ayah. Sisa keluarga ini ternyata masih memendam duka.

Sonja, anak terkecil dari keluarga menurut saya mengalami trauma yang menyedihkan. Saya tidak terlalu memperhatikan dia sedang di usia berapa, namun asumsi saya dia masih berusia sekitar 6–7 tahun.

Sebagai anak yang baru menginjak usia 6–7 tahun, Sonya menghadapi dan melewati kehilangan layaknya gadis kecil seusianya.Tak menunjukan emosi yang berlebihan, namun dirinya masih suka membayangkan bahwa ayahnya sebenarnya masih hidup. Berbicara di telepon secara imajiner, atau bercerita bagaimana bangganya dia memiliki ayah yang keren ke temannya.

Boris, kakak dari Sonja, usia sekitar 9–10 tahunan tak kalah getir dalam menghadapi kehilangan. Sudah cukup paham dan tahu cara mengekspresikan emosinya, Boris sendiri terlihat cukup frustasi sepanjang film. Dirinya bahkan mencoba untuk latihan menyelam di danau dekat rumahnya. Membayangkan bagaimana ayahnya mengalami Narcosis dan hilang saat menyelam.

Baik Sonja dan Boris saya pikir mempunyai cara dan coping mechanism -nya tersendiri dalam menghadapi kehilangan yang mereka alami. Namun, bukan berarti mereka bisa melakukannya sendirian. Menurut saya mereka tetap butuh sosok yang jauh lebih kuat untuk menemani mereka selama masa berkabung. Namun, hal itu tidak datang dari Ibu mereka, Milier.

Bukan menyalahkan, Milier sendiri bisa jadi orang yang paling sedih di antara mereka bertiga. Tetapi, perasaan sedih dan ratapan yang Dia rasakan bisa menghidupi dan melanjutkan hidup bersama dua anaknya, namun atensi yang dia berikan kepada anaknya agaknya kurang hingga konflik terjadi di antara mereka bertiga.

Namun, pada akhirnya, Milier, sang Ibu tersadar bahwa, dia harus tetap maju dan melanjutkan hidup. Dia masih punya anak-anak yang harus dirawat dan berikan kasih sayang.

Membahas mengenai grief atau ratapan, sepertinya tema ini cukup penting untuk dibahas. Semua orang pasti punya caranya masing-masing untuk bersedih dan meratapi suatu hal. Hal ini penting untuk kita pahami agar perasaan empati kita lebih tajam dalam melihat sesuatu.

Usai film ini sendiri dua teman yang saya ajak untuk menonton film ini juga mengatakan bahwa mereka menjadi lebih paham bagaimana tiap orang melalui kesedihannya masing-masing. Namun, kami sepakat bahwa saat orang-orang terdekat kita sedang dalam momen tersebut, yang harus kita lakukan hanya perlu ada untuk mereka.

Secara umum, Narcosis ini film yang dibuat sangat baik. Mengalir, meskipun saya rasa-rasanya agak kebingungan dengan alur maju mundur. Namun, sepanjang film, kita akan dibawa menyelami perasaan masing-masing karakter.

Saya masih ingat, opening film ini juga diambil dengan kamera terbalik dan perlahan kembali normal. Seakan bercerita bahwa kehidupan seseorang bisa berubah dalam hitungan waktu. Seorang bijak pernah berkata, yang pasti dalam kehidupan kan hanya ketidakpastian itu sendiri.

--

--

Nightman
Nightman

Written by Nightman

Pencatat hal-hal kecil yang terlewat, mengaku sebagai penyuka buku, musik, film, dan jalan-jalan di jam tiga dini hari.

No responses yet