Salah satu kegiatan yang saya suka kala usai membaca sebuah buku adalah buru-buru membuka Goodreads dan mendengar komentar-komentar orang-orang yang membaca buku yang sama.
Saya menyukai pendapat-pendapat yang mereka utarakan. Karakter-karakter yang mereka kagumi. Latar belakang cerita yang mereka rasa mengesankan. Atau komentar mengenai plot-plot yang tidak terduga. Hal-hal ini menambah detail-detail kecil yang biasanya saya lewatkan.
Ohya, Goodreads ini sendiri merupakan sebuah platform bagi pembaca untuk menilai, meninjau, dan menyimpan buku yang telah mereka baca atau ingin mereka baca di masa depan.
Goodreads juga sebagai sarana bagi pengguna untuk berinteraksi dengan penulis, bergabung dalam kelompok diskusi, dan menemukan rekomendasi buku berdasarkan preferensi mereka. Ini adalah sumber informasi dan komunitas yang populer bagi pecinta buku di seluruh dunia.
Bagi saya sendiri, Goodreads menjadi sarana untuk mengetahui bahwa orang-orang juga merasa hal yang sama setelah membaca suatu buku.
Dan saya pikir akan sangat menyenangkan juga jika di dunia nyata bisa melakukan hal yang sama.
Sebenarnya, di Bali ada beberapa klub buku yang sudah saya tahu sebelumnya, misalnya Ubud book club atau Sanur Book Club. Saya juga mengetahui tentang komunitas mahima. Selain itu, selama kuliah, mungkin saya agak jarang bergaul, saya sedikit sekali mengetahui tentang-tentang klub buku atau diskusi-diskusi soal membahas buku.
Hingga beberapa bulan lalu, saya melihat postingan instagram mengenai klub buku dari Penerbit dan Toko Buku Partikular, Denpasar. Sempat ingin datang, namun berpura-pura sibuk, saya belum sempat datang dan ikut bergabung.
https://www.instagram.com/p/CxFdM8ayruh/
Tertarik dengan buku yang akan dibahas, saya pun berniat untuk hadir. Selain itu, penulis juga rencanakan untuk hadir dalam klub buku tersebut.
Mimi Lemon, Kumpulan Cerita Pendek yang muram
Mimi Lemon merupakan kumpulan cerita Pendek karya Chynta Hariadi. Kumpulan cerita di buku ini adalah cerita-cerita yang muram.
Di cover dalam buku ini, ada tulisan, “Hidup ini sudah menyedihkan, tapi kita jangan.” Kutipan sederhana bagi saya cukup menarik untuk terus bertahan di hidup yang rasanya memang sudah menyedihkan ini.
Benar memang, bukunya tentang duka dan kesedihan, saya rasa tidak salah. Namun, di balik itu, di akhir cerita cerpen-cerpen ini selalu menyiratkan asa dan harapan. Mendengar dan memahami kesedihan dan duka orang lain bisa jadi cara untuk sedikit cara untuk lebih dekat satu sama lain.
Karena, bukankah cinta juga lahir dari pemahaman-pemahaman?
Beberapa cerita mempunyai latar di Bali, alhasil rasanya ceritanya jadi cukup familiar dan bisa jadi memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum, Mimi Lemon bercerita dari sudut pandang perempuan. Beberapa cerita menyorot lebih dalam dan dari sudut pandang yang berbeda soal feminisme dan gender role. Di cerita pertama ada kutipan,
“Kita ingin feminisme berfungsi seperti Panadol, membebaskan semua perempuan dari kerutinan sakit kepala. Tapi masalahnya, Panadol itu cuma pereda nyeri, sementara sakit kepala perempuan seberagam jenis perempuan itu sendiri. Terus bagaimana? bukan urusanku, aku hanya ingin anakku cepat sembuh.” Mimi Lemon, Chynta Hariadi.
Jika tidak dibaca secara utuh, mungkin kita bisa langsung memberikan tendensi penilaian yang tidak-tidak pada kutipan di atas. Namun, dalam hal ini, jika itu datang dari perasaan seorang ibu, sepertinya itu valid. Banyak hal di luar sana yang di luar kendali kita dan terkadang yang kita butuhkan bisa jadi sesederhana orang yang kita sayangi baik-baik saja.
Bagi saya yang menarik dari buku ini adalah, bagaimana hal-hal yang seharusnya topik yang berat diangkat dalam kisah-kisah yang sederhana. Seperti kutipan cerita di atas sebenarnya sedang membahas mengenai feminisme dan peran perempuan, namun, ceritanya ditarik lebih personal dalam hubungan Ibu dan anak.
Selain itu, ada topik kesehatan mental dan kekerasan, namun cerita selalu dibalut dengan sudut pandang dan gaya penceritaan yang santai dan tidak ingin membuat pernyataan apapun.
Pada cerpen “Ikatan” misalnya, Chynta sejatinya sedang membahas mengenai kesadaran akan kesehatan mental. Namun, dari sudut pandang yang lain. Dalam pembacaan saya, orang yang mengalami masalah kesehatan mental memang tidak melulu menunjukan tanda-tanda yang bisa dibaca dari luar.
Hal inilah yang menjadi penting sebenarnya. Mengingat, yang sering dilakukan jadi nya hanya memberikan stigma dan sangkaan tak berdasar.
Dan hal inilah yang membawa saya untuk datang dalam Klub Buku yang diadakan Penerbit Partikular. Saya ingin datang dan menghilangkan sangkaan-sangkaan saya bagi cerita-cerita dan bertanya langsung ke penulisnya.
Obrolan Santai Selasa Malam
Saya datang sepulang kerja yang rasanya kian hari semakin membosankan. Bertemu pembaca-pembaca lain sepertinya akan sedikit mengurangi kejenuhan setelah 8 jam memandangi layar komputer.
Selain itu, seperti yang saya katakan sebelumnya, akan menyenangkan jika bisa bertemu dan mengobrol bersama tentang buku yang telah dibaca.
Ekspektasi saya, diskusi akan berjalan cukup intens dengan membahas tema-tema berat dalam buku Mimi Lemon, misalnya tentang feminisme, kesehatan mental atau hal-hal berat lain.
Saya sendiri sebenarnya sudah menyiapkan pertanyaan yang saya rasa sudah berbobot. Namunn, yang terjadi, 6 orang yang hadir mengobrol santai dan bersenang-senang.
Malam itu, Chynta Hariadi, sang penulis lemon juga datang dengan cukup santai. Atasan putih dilengkapi ransel. Sekilas mengenai mengenai penulis Mimi Lemon, Cyntha Hariadi, dia adalah penulis puisi dan prosa. Lahir di Tangerang, Banten.
Karya pertamanya berjudul Ibu Mendulang Anak Berlari. Buku ini menjadi salah satu pemenang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015 dan finalis Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK).
Karya keduanya, Manifesto Flora adalah kumpulan cerpen yang juga menjadi finalis KSK 2018. Selain itu ada novel berjudul, Kokokan Mencari Arumbawangi, sebuah novel dongeng menjadi salah satu Buku Rekomendasi Majalah Tempo 2021.
Saya sendiri kurang familiar dengan buku-buku di atas, saya baru tahu tulisan Chynita di kumpulan cerpen Cerita-cerita Jakarta. Dan kumcer Mimi Lemon ini menjadi buku pertama karya personal Chynta yang saya baca.
Berjalan tidak terlalu formal, obrolan rasanya mengalir begitu saja. Teman-teman mulai mengungkapkan pendapatnya mengenai cerpen-cerpen yang berkesan bagi mereka.
Mumpung ada penulisnya, langsung, kami jadi bertanya lebih dalam mengenai-mengenai detail-detail yang tidak kami paham. Selain itu, kami juga bercanda soal plesetan Coco de Mer, yang kami rasa memang lucu.
Rasanya Chynta merupakan selain penulis yang telaten, dia juga pendengar yang baik. Saya melihat bagaimana keingintahuan dia perihal pembacaan kami terhadap bukunya. Inilah yang membuat hampir selama dua jam ngobrol-ngobrol santai tersebut berlalu begitu saja.
Selain itu, klub buku juga diadakan di selasar Penerbit Partikular yang terdiri dari satu dua 3 kursi dan satu meja kecil. Juli, selaku tuan rumah penerbit Partikular menambah 3 kursi tambahan untuk mengakomodasi teman-teman yang datang malam itu.
Alhasil, klub buku malam itu rasanya seperti keluarga kecil yang kedatangan tamu jauh yang membawa cerita-cerita yang seru. Sepertinya, malam-malam memang lebih perlu dihabiskan dengan obrol-obrolan santai.