“Kamu tidak tidak akan Jumatan selama 24 kali,” kata Ibuku setelah menghitung berapa Jumat yang akan aku lewati selama tinggal di Braga, Portugal.
Ibuku belum teryakinkan untuk melepasku pergi selama 6 bulan ke negara yang bahkan dia tak bisa menyebut namanya. Dia masih ingin aku menyelesaikan kuliah dulu.
Aku buru-buru membuka hape dan mencari apakah di kota Braga mempunyai masjid yang bisa menampungku untuk tidak melewati 24 kali Jumatan dan mendapatkan stempel munafik. Akupun menemukan “centro islâmico Braga”.
Percakapan itu berakhir dan keinginanku untuk ke Portugal terlaksana.
Aku tiba di Braga, Portugal tiga hari sebelum hari Jumat. Aku telah beberapa kali mengelilingi kota dan sempat mampir ke centro islâmico Braga untuk melihat bagaimana bentuk masjid ini.
Centro islâmico Braga tidak seperti masjid-masjid di negara mayoritas islam seperti Indonesia atau negara-negara timur tengah. Kamu tak akan menemukan kubah atau menara-menara tinggi yang akan segera kamu lihat.
Centro islâmico Braga sendiri merupakan ruang berukuran 4x7 meter persegi. Kira-kira bisa menampung hingga 40 an orang. Ada satu kamar mandi dan tempat untuk wudhu. Ada meja dan lemari-lemari kecil untuk menaruh Alquran.
Ketika aku datang pertama kali, aku tak menemukan aktivitas apa-apa. Aku juga belum menemukan dengan pasti, Centro islâmico Braga berada di mana. Aku tak bekecil harap. Mungkin, masjidnya memang hanya beroperasi ketika hari jumat, kataku dalam hati.
Namun, ketika hari Jumat tiba, tepat ketika pukul 12 siang, aku telah berada di masjid, dan lagi, aku tak menemukan siapa-siapa. Aku menunggu hingga satu jam lamanya dan tak ada siapa-siapa yang datang.
Aku pulang dengan hati nelangsa.
Seminggu kemudian, aku kembali lagi. Kali ini aku datang pukul 13.00, aku tak bertemu siapa. Namun, saat aku mondar-mandir di depan masjid, aku mendapatkan kabar dari seorang yang ingin jumatan juga bahwa, Centro islâmico Braga menyelenggarakan jumatan pukul 14.00.
Inilah awal perkenalan ku dengan komunitas muslim di Kota Braga.
Selama 6 bulan masa tinggal, setidaknya, aku menemukan sekitar enam wajah yang paling familiar yang paling sering aku lihat kala berkunjung ke Centro islâmico Braga.
Pertama, si Takmir masjid. Aku tak berkenalan dengannya bahkan hingga bulan keempat aku tinggal dan sering berkunjung ke mesjid. Kala aku menulis tulisan ini, aku bahkan tak mengingat namanya sekarang. Yang aku tahu, rutinitas dirinya adalah, dia salah satu yang akan datang paling awal. Dia akan bersih-bersih untuk membuat masjid nyaman digunakan. Terkadang dia juga menjadi muadzin. Aku tak tahu banyak tentang dirinya.
Menelusuri kembali ke ingatan yang tak seberapa, kalau tidak salah dia berasal dari Guinea Bissau. Negara di bagian barat Afrika. Hari terakhir aku ikut sholat berjamaah di masjid ini, aku sempat berpamitan dengannya. Berbekal google translate, aku mengatakan dalam bahasa portugis yang buruk bahwa aku akan kembali ke Indonesia esok hari, dan aku sangat senang mengenalnya.
Dia menjabat tanganku, lalu mengucapkan sesuatu seperti selamat kembali ke rumah atau senang telah mengenalkau, atau mendoakan ku yang baik-baik.
Kedua, dua bersaudara dari Pakistan. Rasanya-rasanya aku harus berterima kasih kepada dua orang ini. Sepertinya, merekalah yang memulai inisiatif untuk mendirikan tempat bagi para muslim di Braga untuk bisa berkumpul.
Tiap minggu di hari Jumat, mereka akan membuka masjid, dan membuat masjid ini terus beroperasi. Yang aku tahu, mereka telah lama tinggal di Portugal. Salah satu dari mereka bekerja sebagai penjual handhphoe. Tidak seperti si Takmir Masjid, mereka berdua bisa berbahasa Inggris, jadi aku sering berkomunikasi dengan mereka.
Ketiga, Imam. Imam masjid Centro islâmico Braga aku tak tahu namanya. Tapi, dialah yang kami selalu tunggu kala sholat jumat atau sholat isya berjamaah. Sepertinya dirinya dari Timur Tengah. Saat dia datang, dia biasanya, mengenakan jas yang rapi, namun, ketika menjadi imam, dia mengenakan jubah panjang berwarna putih.
Khutabah jumat dia sampaikan dalam dua bahasa. Bagian pertama disampaikan dalam bahasa Portugis dan bagian kedua dalam bahasa arab. Keduanya saya tak pahami. Namun, melihat bagaimana cara dia menyampaikan, sepertinya dia memang imam dan guru yang baik.
Ketiga, seseorang kawan yang aku kenal dan beranama Chaulidis. Dia juga berasal dari Guinea Bissau. Seperti yang lain, tak banyak yang informasi yang aku tahu tentang dirinya. Selain dia sedang bersekolah di Braga dan asal negaranya. Namun, dia selalu menyapaku kala bertemu di Masjid.
Selain Chaulidis, aku bisa menyebut nama-nama lain (untuk kepentingan personal dan agar ada catatan yang bisa aku kenang di masa depan), aku mengenalkan Muhammad, pria berkacamata, ada juga Ndidi, Sinan. Hmm, sepertinya hanya nama itu yang aku ingat.
***
Aku rasa, aku tidak akan sebetah ini jika tidak bertemu dan berkenalan dengan komunitas ini. Rasanya aku menemukan kehangatan dan keluarga. Untuk hal itulah, aku bersyukur dan menghadiahkan salute kepada mereka-mereka yang menghadirkan kehangatan.
Aku menyukai beberapa momen selama aku tinggal di Braga dan ikut menjadi bagian mereka.
Aku berada di Portugal selama bulan Ramadhan, dan momen berbuka puasa bersama menurutku menjadi momen yang aku rasa selalu hangat. Daylight Saving membuat waktu puasa menjadi semakin lama. Kalau tidak salah waktu itu, puasa berlangsung hingga 18 jam. Alhasil waktu berbuka kadang begitu nikmat.
Dua bersaudara asal Pakistan yang saya ceritakan di atas selalu membawa Nasi Briyani yang lezat sekali. Mereka sering kali menawarkanku untuk menambah porsi supaya lebih kenyang. Nasi briyani tadi biasanya ditanami salad, jus, dan buah-buahan. Aku rasa seperti menemukan keluarga baru yang membuatku merasa aman selama bulan puasa di Braga, Portugal.
Selain itu, momen yang aku suka juga lebaran tentunya. Sebelumnya saya pernah berlebaran tidak di kampung, tapi waktu itu rasanya sedikit berbeda. Mengingat, jarak kampung dan Portugal memang jauh.
Baik lebaran idul fitri atau lebaran idul adha saya berada di Braga, namun komunitas ini sedikit memberi ruang bagiku untuk merayakan lebaran bersama. Dan aku menemukan lebaran di sini sangat hangat. Usai sholat Ied, ada sedikit camilan yang jamaah bisa ambil. Selain itu, juga berpepulakn dan meberi ucapan-ucapan selamat juga terucap pada satu sama lain.
Di sisi lain hal yang aku paling suka selama berada di Braga dan bergabung di komunitas ini adalah shalat isya berjamaah. Meskipun ini dilakukan regular, aku menikmati suasana hening kota di kala kami sholat bersama. Aku juga suka suasana kota yang tenang kala pulang dari sholat bersama sekitar pukul 11. Aku menyukai Braga yang tenang.
Pengalaman enam bulan di Braga memang menajdi pengalaman yang berkesan dengan cerita ini. Mereka-merekalah yang membuatku cukup betah tinggal di kota ini, dan mereka-merekalah yang menghadirkan kehangatan.