Lima tahun lalu, band asal Inggris dengan nama FUR merilis video musik berjudul If you know that i’m lonely di laman Youtube mereka dan tak berharap apa-apa. Namun, tak disangka, kala pandemi mengamuk, mereka mendapat sorotan. Video yang mereka tayangkan tersebar luas dan ramai dibicarakan.
Band indie yang menggabungkan gaya 1950 an atau 1960 an dengan jenis suara musik yang lebih modern sepertinya menemukan pendengar yang tepat dan mulai sangat populer di jagat maya.
Namun, siapa band FUR sebenarnya? Mari kita kulik lebih jauh, berdasarkan beberapa diskusi dan pencarian di internet. FUR merupakan band beranggotakan sang vokalis rambut poni, Will Murray. Di bass ada Will Tavener, dan Penggebuk Drum Flynn Whelan. Mereka sendiri bertemu dan membentuk Band saat menghadiri atau bersekolah di BIMM Institute pada tahun 2015.
Bak Bandung Bondowoso yang mampu menyelesaikan 1000 candi dalam satu malam, lagu “If You Know That I’m Lonely” juga melesat cepat hingga 10,000 views dalam waktu beberapa pekan. Pendengar FUR sendiri basisnya berada di Peru, Brazil dan Indonesia.
“Fanbase terbesar kami sekarang adalah Indonesia, dan itu sangat keren! Negara seperti Peru dan Brazil juga senang dengan lagu-lagu kami, namun tampaknya kami harus lebih bekerja keras di negara kami sendiri,” ujar Will Tavener kala diwawancara Diymag.com Februari 2019 lalu.
Dalam wawancara nya dengan Spin.com, Murray menyebut bahwa dalam rentang hanya sepuluh hari, FUR yang awalnya hanya band yang bermain di Bar kecil di Brighton, secara tiba-tiba bisa menyanyikan musik mereka secara langsung di depan sekitar lima ribuan orang di Indonesia.
Murray menambahkan bahwa apa yang mereka alami seperti mimpi. Perjalanan jauh dari Inggris ke Indonesia lalu memainkan lagu mereka di depan ribuan orang dan menyaksikan semua orang bernyanyi, menurut dia rasanya memang seperti khayalan.
“Rasanya sangat, sangat surreal, dan… rasanya aneh juga melihat bagaimana internet bekerja dan memberikan publikasi secepat ini,” ujar Murray.
Internet memang membuat sekat antara ruang dan waktu menjadi lebih sederhana. Ya, bahasa orang jaman dulu, mendekatkan yang jauh. Dan tentu, hingga hari ini, saya pikir, pendengar FUR tentu bisa semakin luas.
Musik yang mengusung tema 60an, membuat FUR jadi Band yang unik. Saya setuju dengan gambaran Tom Freece di blog Let It Happen yang menyebut FUR sebagai band yang mempunyai fokus pada paduan melodi dengan instrumen utama yaitu, gitar, lalu menghasilkan suara yang mencampurkan indie rock bedroom modern dengan musik pop awal tahun 60-an.
Ditambah dengan lirik romantis namun melankolis, FUR memang rasanya membawakan lagu-lagu cinta yang dengan tema yang mengharu-biru ala remaja serta cerita-cerita kesedihan menyoal perpisahan.
Murray vokalis FUR mengaku bahwa dirinya dekat dengan musik-musik era 60an. Dia menceritakan bahwa ayahnya lah yang mengenalkan dirinya kepada musik-musik era 60an ini. Band macam The Kinks menjadi band yang dia dengarkan dan membuat dia terobsesi hingga dia bahkan menghafal setiap catatan gitar dan lirik-liriknya.
“Dan saya waktu itu mungkin bahkan tidak tahu apa itu tahun ‘60-an, baik dalam budaya pop atau sejarah musik,” kata Murray. “Tapi saya mendengarkan lagu-lagu (Kinks) itu begitu sering sekali, saya pikir itu yang membuat saya terpikat. Dan masih, tahun ‘60-an dan awal ‘70-an adalah masa yang saya harapkan saya berada di sana dan menulis musik.”
Hasilnya, Murray sebagai lead vokal dari FUR menghasilkan gaya vokal yang tidak biasa. Dalam beberapa kesempatan Murray mencoba bereksperimen dengan membawakan lagu FUR menggunakan teknik vokal falsetto.
Namun dalam wawancara bersama RoughTrade, FUR mendefinisikan diri mereka dalam lima kata sebagai Roll necks and layered guitars. Melewati masa coming of age mereka, FUR menyebut ada lima momen yang paling berkesan dalam karir bermusik mereka.
Pertama, menjadi bintang utama di sebuah festival di Indonesia di depan ribuan penonton. Kedua, menyegarkan halaman YouTube berulang kali lalu menunggu lagu If You Know That I’m Lonely mencapai satu juta penonton pertama. Selain itu, mereka juga menyukai momen mendengarkan kembali lagu-lagu dari album mereka untuk pertama kalinya di studio.
Menandatangani dengan label rekaman 777 juga menjadi momen penting bagi FUR. Kemudian, tentu, menjadi penampil utama di Omera di London pada hari keluarnya EP pertama mereka juga hal yang mengesankan.
FUR dari Dekat
FUR akan tampil di Hard Rock Cafe Bali. Bagi saya, Hard Rock Cafe seperti tempat yang tidak akan saya kunjungi. Bukan tidak tertarik, namun tidak ada hal penting untuk bisa dijadikan alasan datang ke cafe ini.
Atau sepertinya saya pikir saya sudah cukup puas untuk berfoto dengan latar belakang gitar bertuliskan Hard Rock Cafe beberapa tahun lalu.
Saya sendiri telah tinggal di Bali beberapa tahun terakhir. Namun, saya baru menginjakkan kaki di dalam kafe legendaris ini baru tiga bulan lalu kalau tidak salah. Itupun karena tugas dari kantor. Kalau tidak, sepertinya saya tidak akan mampir ke kafe ini.
Saat masuk ke kafe ini, saya bisa melihat langsung suasana dan bentuk panggungnya. Kecil dan akan membuat konser terasa intim. Dan memang ini sangat menarik. Rasanya seperti tempat minum-minum yang biasanya saya lihat di film.
Hal ini pula yang menjadi pertimbangan untuk datang menonton langsung konser FUR di sini. Iya, benar, konsernya akan terasa privat karena panggungnya cukup mungil. Hal ini tentu akan membuat saya bisa menyaksikan performa FUR lebih dekat.
Meskipun menyukai FUR, saya sendiri sebenarnya belum pada tahap fanatik yang tahu nama dan dimana ibu mereka ngeden untuk melahirkan orang yang nantinya jadi para personel FUR. Yang saya tahu, mereka hanya menyanyikan musik yang kebetulan saya suka. Rasanya cukup untuk sedikit berkorban demi melihat penampilan live mereka.
Namun karena kebutuhan nonton live, saya jadi sedikit melakukan pencarian soal band ini. Sebelumnya saya sudah tahu bahwa mereka berasal dari Inggris. Hal ini tentu tidak terlalu susah untuk ditebak karena gaya mereka memang British sekali.
Seperti yang saya katakan di awal, saya sendiri menemukan FUR mempunyai gaya yang khas yang akan membuat orang tertarik setidaknya untuk mendengar satu lagu. Entah itu akan suka, atau tidak akan pernah mendengarnya lagi.
Saya sendiri, bisa jadi termasuk yang suka dan mendengarnya lagi. Berkali kali. Entah kenapa musik 60an bagi saya selalu gampang untuk didengar.
Selain itu, cara menyanyi sang vokalis FUR juga bagi saya cukup unik. Di banyak lagu, Murray rasanya seperti malas membuka mulut dan menyanyi dengan suara yang seperti meracau. Namun, hal ini lagi-lagi membuat FUR semakin menarik.
Dan yang paling penting selera. Mungkin orang lain akan menemukan bahwa mereka band yang tidak bagus. Namun sebagian orang mungkin juga akan mengatakan dan berani berdebat bahwa FUR adalah mutiara.
Malam Bersama FUR
FUR tampil setelah dua pembuka lain yaitu, The Hydrant dan Astera Ina. Tidak ada yang akan saya bicarakan tentang mereka karena saya cukup tidak tahu dan mengerti soal hal ini. Yang bisa saya sampaikan, kedua band pembuka itu cukup menghibur.
Cukup untuk memanaskan suasana sesaat sebelum melihat FUR manggung. Band dan konser yang pertama saya datangi dan rela membayar untuk datang. Sebelum acara, sebenarnya sudah siap-siap tidak terlalu puas atau penampilannya tidak terlalu berkesan.
Atau kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya.
Malam itu, Jumat 13 Oktober 2023, berdasarkan arahan teman yang saya kenal di lokasi acara, untuk pertama kali saya melihat langsung FUR, band yang sedang saya gemari. Mereka sedang duduk di lantai dua dan melihat band pembuka yang tampil. Cahaya lampu yang remang remang tidak menghentikan saya untuk mengidentifikasi langsung si vokalis Will Murray.
Hal ini sangat gampang karena rambut poninya yang unik akan mudah dikenali. Saya sedikit melihat McCartney di dalam dirinya.
Mereka pun mulai tampil sekitar pukul 22.15. Saya sendiri berdiri cukup dekat dari panggung, hal ini membuat saya bisa melihat langsung set lagu yang akan mereka mainkan.
Mereka membuka dengan lagu, “Don’t Know Why,” lagu yang relatif baru. Pertama kali saat saya mendengar lagu ini di spotify, saya bahkan tidak terlalu tertarik.
Namun malam itu, ketika lagu ini menjadi pembuka, rasanya senang sekali. Intro lagu ini dibuat agak panjang dengan gebukan drum yang dikeraskan. Saya dan penonton lain pun langsung berjingkat.
Lirik lagu ini berbunyi,
“I don’t know why but I love you, oh yeah
I’m driving over the edge
Cause I love you, oh yeah
When I’m down and I’m out
I’ll be bleeding all my love for you”
Manis sekali bukan? Singkatnya lagu ini bercerita tentang seseorang yang sedang jatuh cinta, tapi tidak tahu karena apa. Karena bukankah memang seharusnya demikian? Jatuh cinta yang menyenangkan adalah jatuh cinta yang kita tidak tahu karena kenapa?
Selain itu, bagian melodi di lagu ini juga terdengar enak sekali. Gitar tua Murray rasanya mendecit pas untuk menghibur penonton malam itu. Namun, sedikit yang ikut bernyanyi di lagu ini karena mungkin lagu baru kali ya.
FUR membawakan “Him and Her” di lagu kedua. Memang, sepertinya Murray malas sekali untuk membuka mulut ketika menyanyikan lagu ini.
Dulu lagu ini nyangkut di kepala ketika bagian, “Please, please-nya.” Ahh menyenangkan sekali mendengar lagu ini secara langsung.
Saya menyukai bagian ini,
“It’s not mine, although I thought it was, Maybe I’ve been hiding something, All I care about is you-uh”
Susah move on memang lagu yang cepat membuat orang merasa dekat. Di lagu ini saya ikut menyanyi dan menari saja. Tak terlalu memperhatikan sekitar yang sepertinya lebih fokus mengabadikan momen.
Setelahnya, mereka membawakan lagu yang paling saya suka yaitu, Nothing until Something. Selama lagu ini dimainkan, yang saya ingat saya hanya bernyanyi dan menari.
“Maybe if you answered my question with an answer, I wouldn’t be behaving in the way that I am, I may be pretty lazy but something I would do, Is nothing until something comes along instead of you”
Lagu ini personal. Cerita kenapa, akan saya kisahkan di lain waktu.
Saya juga selalu suka lagu “Grow Up”, lagu ini mereka mainkan di urutan ketiga. Ada bagian di lirik yang pasrah sekali untuk menjalani hidup. Ketika tidak bisa melakukan apa-apa, di hidup yang berjalan hari-hari, yang bisa dilakukan memang hanya pasrah.
“…Follow the pattern for every person, They grow up, they get old, They die and it doesn’t matter…”
Saya ingat, di bagian ini saya bernyanyi cukup lantang. Dan ya, saya sendiri merasa menganut prinsip stoic secara serampangan, alhasil lagu ini memang terasa dekat.
Lagu “Brother” tidak terlalu familiar, jadi mari lewatkan saja.
“Not Enough” memang salah satu yang hits, salah satu lagu yang membuat saya menyukai FUR dulu pas awal-awal.
Lagu ini sendiri bercerita soal cinta yang bertepuk sebelah tangan. Namun seperti pujangga kebanyakan, yang disalahkan memang jadinya adalah hal-hal yang tidak masuk akal seperti waktu.
Untuk orang yang malasan, lagu, “The Fine Line of a Quiet Life,” bagi saya adalah lagu yang sangat membuat terhubung. Saya menyukai musiknya yang cepat dengan suara gitar yang ingin membuat menari, kiri ke kanan. Selain itu, ada lirik, “Cause I don’t wanna do it again, I’m getting tired and old,” rasanya sangat terwakili.
“Angel eyes” tentu menjadi lagu yang paling pecah malam itu. Rasanya semua orang ikut bernyanyi ketika lagu ini dibawakan. Selain itu, Murray juga melepaskan gitarnya dan bergaya seperti para penyanyi 60an. Yap, seperti gaya Elvis.
Dia juga mendekat ke arah penonton untuk membuat gimmick yang aneh dan membuat penonton semakin histeris.
Rasanya tak genap satu jam mereka tampil. Beberapa lagu dilewatkan dari setlist yang mereka buat. Selain itu, cuaca musim panas memang sangat membuat gerah, sang vokalis harus minum air setelah setiap membawakan satu lagu. Baju yang sang vokalis kenakan juga terlihat basah. Keringat mengalir di sana sini.
Namun, meskipun tampil singkat, penampilan mereka cukup memuaskan. Selain itu, di tengah-tengah performa, meskipun tidak ada dalam setlist yang mereka siapkan. FUR menyerah dan mereka lalu membawakan lagu “If you know that I’m lonely” yang sukses menyihir para penonton malam itu.
Semua orang bernyanyi. Semua orang menari.