Buku Pencuri Anggrek menjadi buku terakhir yang saya baca pada tahun 2024. Tanpa tedeng aling-aling, saya mendeklarasikan buku ‘Pencuri Anggrek’ sebagai bacaan terbaik yang saya baca tahun lalu.
Buku ini hampir setebal 500 halaman. Dan dalam kurang dari dua minggu, saya lahap dengan cepat buku ini. Bagi saya, ini adalah kecepatan membaca yang terjadi jika bukunya memang benar-benar bagus.
Jadi, mari saya dongengkan mengapa saya menasbihkan buku ini jadi buku terbaik yang saya baca tahun lalu.
Buku Pencuri Anggrek adalah salah satu buku non fiksi naratif yang sudah sejak lama saya ingin baca. Semenjak, menyukai genre ini, kata beberapa orang Pencuri Anggrek adalah buku wajib dibaca.
Saya sendiri, pertama kali tahu buku ini dari blog mengenai mengapa Mbak Windy Ariestanty memilih menulis cerita perjalanan.
Mencari tahu lebih dalam, buku ini terbit di Amerika sana tahun 1998. Sekira hampir 30 tahun yang lalu. Penulisnya, Susan Orlean adalah seorang jurnalis yang bekerja, di The New Yorker.
Saya sebenarnya ingin membaca versi bahasa Inggrisnya, namun saya tidak menemukannya di beberapa lokapasar dalam negeri. Jadilah saya baca versi bahasa Indonesia yang diterbitkan Penerbit Banana.
Pencuri Anggrek dialih bahasa dan diterbitkan oleh penerbit Banana tahun 2007. Ini juga Iya, saya membacanya tahun 2024.
Saya pikir, penerbit Banana dengan baik sekali mengalihbahasakan buku ini. Menyerap beberapa kalimat menjadi lebih lokal dan mudah dimengerti. Ketika membaca pun, teksnya sudah terasa seperti bahasa Indonesia yang Indonesia banget.
Dan ketika saya membaca kalimat pertamanya, saya yakin saya akan menyukai buku ini. Saya pernah membaca bahwa kalimat pembuka adalah segalanya. Dan buku pencuri Anggrek karya Susan Orlean ini melakukan pembukaan dengan baik sekali. Kira-kira jika tidak salah ingat, narrator langsung mengenalkan tokoh utama dalam buku dengan mendeskripsikannya sebagai lelaki seperti tiang listrik.Bagi saya, kalimat ini menarik sekali karena memantik penasaran untuk mengetahui siapa lelaki tiang listrik, ada apa di balik karakternya.
Jadi, secara singkat, buku ini bercerita tentang kegilaan orang-orang pada Anggrek. Lalu, kamu mungkin akan bertanya apa sih yang membuat Anggrek begitu spesialnya hingga membuat orang-orang itu gila? Dan kenapa Anggrek? Dalam hampir 500an halaman, buku ini menjelaskannya dengan narasi yang menarik.
Buku ini disampaikan dengan gaya penulisan naratif. Meskipun merupakan laporan jurnalistik, buku ini mempunyai deskripsi layaknya novel dan memberi kesan bacaan ringan namun tetap berbobot. Yang menarik dari non fiksi naratif adalah, terkadang, non fiksi memang bisa lebih mencenangkan dan membuat mulut ternganga dibanding rekaan dalam cerita fiksi.
Saya tak terlalu mengingat kutipan yang menarik dari buku ini. Namun, semakin tenggelam dalam cerita, buku ini memberi peringatan akan kecintaan terhadap suatu hal harusnya memang tidak membutakan.
Di buku ini digambarkan bagaimana para penyuka anggrek mencapai batas gila dalam mencintai bunga indah ini. Mencuri, melakukan tindakan kekerasan hingga membunuh jadi bukti bahwa Anggrek malah mengeluarkan sisi negatif dari penyuka anggrek.
Jika dikaitkan dengan hubungan alam dengan manusia, buku ini memberi sisi lain dari manusia yang bisa berbuat seenaknya pada alam hanya untuk kepuasan mereka. Dalam laporan buku ini, banyak anggrek yang punah bahkan karena para penyuka anggrek itu sendiri.
Mengingat buku ini merupakan buku dari laporan jurnalistik. Penulis buku ini menyatu dan menjadi karakter yang melihat dari dekat para penyuka anggrek. Namun, si penulis meskipun masuk dan mencoba memahami lebih dalam soal mereka, penulis tetap memberi jarak dan memberi penilaian yang objektif bagi para narasumber mereka.
Untuk menutup, jika kamu menyukai buku non-fiksi naratif, buku Pencuri Anggrek adalah buku yang tidak boleh dilewatkan. Sebuah sajian komperhensif tentang cinta, dan batas tipis kegilaan manusia.