Meminta ke koordinator di Braga untuk mengikutsertakan aku dalam arrival training. Semacam pertemuan untuk memberi gambaran bagaimana menjadi volunteer yang baik selama di Portugal.
Namun, aku baru mengirimkan permintaan ini di awal bulan april 2019. Setelah hampir sebulan lebih aku tinggal di Braga, Portugal. Aku sepertinya terlalu menikmati suasana tinggal di negeri Eropa. Jadinya, aku lupa untuk mengajukan permintaan ini.
Berselang beberapa waktu kemudian, aku mendapatkan jawaban. Untuk arrival training telah usai dilakukan. Namun, dia menyarankan aku untuk mengikuti midterm training saja. Midterm training ini sejatinya pertemuan volunteer yang bergiat di seantero Portugal. Namun di lakukan di pertengahan masa volunteer.
Jadilah aku didaftarkan untuk midterm training untuk keberangkatan bulan juni 2019. Aku tak sabar untuk pertemuan ini. Beginilah cerita midterm training dan memori dari Serra da Estrela.
Menjadi Orang Indonesia
Aku membaca secara seksama panduan untuk midterm meeting yang dikirimkan koordinator ku. Aku harus tiba di Covilha, kota terakhir sebelum naik ke gunung Serra de Estrela pukul 16.00. Karena bus terakhir hanya berangkat pada jam tersebut.
Semalaman, aku mengubek-ubek internet mencari jadwal keberangkatan bus yang akan mengantarkanku ke sana. Dari Braga tidak ada bus yang langsung ke Covilha. Satu-satunya pilihan tersisa, aku harus ke Porto, sesuai dengan informasi yang aku dapatkan di internet.
Sejak datang di Portugal bulan Maret, hingga bulan Juni aku tak membeli simcard lokal. Selain mahal dan bandwidth nya sedikit, aku rasa aku tak terlalu membutuhkannya karena aku lebih sering menghabiskan waktu di apartemen yang sudah dilengkapi dengan wifi. Namun, di saat bepergian seperti ini, aku pikir keputusan itu keputusan yang bodoh.
Karena, sesampai di Porto aku sedikit kebingungan dan kesulitan menemukan stasiun bus yang akan membawaku ke Covilha. Jam sudah menunjukan pukul sekitar pukul 08.45 menit. Berputar-putar hampir setengah jam, dan barulah aku menemukan stasiun bus dengan bantuan map offline yang aku download di apartemen.
Bus baru akan berangkat pukul 10.00. Dan aku cek perjalanan ke Covilha sekitar 4–5 jam. Aku masih santai karena berpikir tidak akan terlambat dan malah datang lebih awal
Akan tetapi, perkiraan ini melenceng jauh. Aku dengan cukup bodoh dan lupa menghitung waktu transit selama perjalanan. Tentu bus ini tidak akan langsung ke Covilha, dia akan berhenti di stasiun-stasiun bus lain sebelum kota tujuanku.
Akhirnya, aku baru tiba di Covilha, pukul 18.00an. Aku sudah pasrah dan siap-siap menginap di stasiun bus di kota asing ini. Aku melihat handphone dan hanya bisa tertunduk ketika turun dari bus. Sebelumnya, aku berkabar ke koordinator ku bahwa aku memakai hoodie hitam bertulis “synergia” agar mudah dikenali serta berkabar bahwa busku baru tiba dan aku terlmbat. Karena satu-satunya kontak dengan panitia hanya melalui dirinya.
Namun, ketika hendak ingin keluar dari stasiun, aku melihat sekumpulan orang yang membawa tas-tas besar. Tiba-tiba, seorang laki-laki sekira bertinggi badan 190 an cm menghampiriku dan berkata,
“Arungg?”
Aku kaget. Pria besar ini tiba-tiba menyapaku seperti itu. Aku gelagapan dan menjawab, “Iya.” Dia mengulangi pertanyaannya, “Arung from Synergia, Braga?”
Aku mengangguk dan kemudian menyadari orang ini salah satu panitia yang sedang menungguku.
“I knew it, I know from your shirt” ujarnya.
Syukurlah. Aku tak jadi menginap di stasiun bus ini dengan perut keroncongan. Kemudian dia membawaku ke kumpulan orang-orang tadi dan mengenalkan bahwa orang yang mereka tunggu telah tiba. Aku melihat tatapan yang menyiratkan, “Ini nih mas-mas jamet yang bikin telat. Dibilang jam empat, jam enam malah baru nyampe.”
Beberapa orang menyalamiku dan mengajak berkenalan. Dan memang mereka hanya tinggal menungguku sebelum kami berangkat ke penginapan. Bus kota sepertinya telah dipesan untuk menunggu dan akan membawa kami ke gunung atau taman nasional Serra da Estrela.
Aku merasa tidak enak karena sudah membuat orang lain menunggu. Aku telah benar-benar menjadi orang Indonesia sepenuhnya. Datang dengan jam karet. ☹ Namun, bus mulai merangkak menaiki jalan-jalan berkelok. Aku akan segera tiba di Serra da Estrela.
Memori dari Serra da Estrela
Pousada de Juventude da Serra da Estrela. Nama penginapan ini akan selalu aku ingat, karena ini pengalaman pertama kaliku menginap di dataran tinggi Portugal. Selain itu, aku masih ingat bisa terbayang, bagaimana rasanya bangun pagi-pagi dan menghirup udara segar pegunungan. Aku sedikit menggigil karena suhu memang cukup dingin, namun, suasana yang hening membuat perasaan tenang menyergap dan rasanya bersyukur sekali bisa mengalami pengalaman ini.
Serra da Estrela sendiri sebenarnya kawasan pegunungan atau taman nasional yang sering dipakai untuk aktivitas ski atau seluncur es di musim dingin. Karena, pada bulan-bulan desember hingga januari, kawasan ini akan dipenuhi salju dan turis-turis yang ingin menikmati pengalaman melakukan seluncur es.
Selain itu, kawasan ini merupakan satu-satunya kawasan di Portugal yang bersalju. Jadi tak heran jika kawasan ini akan ramai sekali di musim dingin. Setidaknya, itulah yang saya lihat dari gambar-gambar di dinding hostel dan postcard-postcard yang saya lihat di toko-toko.
Namun, waktu itu aku datang kala musim panas tiba. Jadi, tak ada salju. Yang ada hanya gunung-gunung dengan bebatuan dan tumbuhan-tumbuhan kecil. Tapi percayalah, hal ini tak mengurangi sama sekali keindahan kawasan taman nasional ini.
Midterm training diadakan selama satu minggu full. Kegiatan semua dipusatkan di hostel ini. Ada ruangan pertemuan kecil yang disediakan untuk tamu yang membuat acara. Tak ada yang perlu diceritakan dari kegiatan ini. Karena sejatinya tidak terlalu menarik.
Menurutku, yang menarik dan aku ingat dari midterm training ini hanya teman-teman, momen, kegiatan-kegiatan tidak resminya. Berpesta setelah acara. Atau duduk-duduk di lobby dan menikmati sarapan. Melihat-lihat ke kawasan sekitar hotel yang masih sepi karena belum musim dingin.
Namun, yang menjadi highlights tentu kegiatan hiking di dua hari sebelum hari terakhir seluruh kegiatan. Kegiatan ini sederhana saja, kami melakukan hiking dan berjalan-jalan di dalam kawasan taman nasional. Aku mendengar, tujuannya adalah ke sebuah taman di tengah pegunungan yang juga sumber mata air dari sungai yang mengalir di sebuah kota.
Sayangnya, aku tak banyak mengambil gambar dalam perjalanan ini. Alhasil, sekarang aku hanya mengandalkan ingatan yang segera akan pudar dan satu dua jepretan yang terlalu malas aku tangkap di sepanjang jalur hiking yang aku lewati.
Perjalanan ini sangat berkesan. Kami melewati danau dan bendungan, lembah, singgah di gereja tua, jalan-jalan berkelok di tengah pegunungan, menerabas hutan-hutan hijau, melewati bebatuan dan minum dari sumber-sumber air alami di sepanjang perjalanan.
Salah seroang panitia bercerita bahwa lembah yang kami lewati meruapakan lembah yang tepat untuk mengembala domba. Domba yang digembalakan di sini konon katanya akan menghasilkan susu yang akan dijadikan keju terbaik di seluruh Portugal.
“Di musim tertentu, lembah ini akan dipenuhi dengan domba-domba,” cerita seorang panitia.
Aku sendiri tak berhenti terkagum-kagum dengan lanskap kawasan ini. Aku rasa yang kami eksplorasi baru setengahnya. Banyak sudut-sudut yang sepertinya akan seru untuk dikunjungi.
Kami sampai di lokasi tujuan setelah berjalan sekitar 2 jam. Kami berjalan setidaknya, 11 kilometer. Tiba di taman dan sumber mata air yang kami maksud, hal ini langsung sirna.
Yang aku perhatikan, meskipun tak ada tiket masuk dan tetek bengek tempat wisata lainnya, tempat ini terbilang cukup bersih. Bahkan aku seharusnya mengatakan, tempat ini bersih. Atau, paling tidak aku bisa menyebutnya tertata rapi.
Bangku-bangku taman yang tersedia di satu dua titik. Tempat untuk bakar-bakar atau grilling yang tidak akan mengganggu. Jalan setapak yang indah. Dan tentu sumber air yang masih sangat alami. Aku menemukan tempat ini layaknya dongeng-dongeng atau persinggahan para pengembara di ceritnya JRR Tolkien.
Menghabiskan sekitar dua sampai tiga jam di taman ini, kami bernyanyi dan bermain permainan sederhana. Membuka makanan dan makan bersama tentunya. Kami juga menelusuri hingga titik terjauh ke pusat sumber mata air. Suara-suara hewan-hewan yang tinggal di kawasan hutan menemani kami mengeksplorasi tempat ini.
Kami pulang ke hostel dengan hati gembira. Atau, aku pulang dengan hati gembira.
Malamnya, kami mengadakan pesta kecil karena acara di Serra da Estrela telah usai. Teman-teman membeli berbagai macam minuman. Mengenakan berbagai macam kostum. Bermain banyak permainan. Aku rasa, waktu seminggu midterm training jadi terasa sangat singkat.
Aku tak banyak mengingat nama-nama orang yang aku temui waktu itu. Namun, aku mengingat Lido, Eduardo, Teman sekamarku Orang Jerman yang mengaku sebagai komunis, Burak, orang turki dengan jambang lebat yang memberi nasihat-nasihat penting, teman orang spanyol yang sekarang aku lupa namanya yang pernah aku ajak tinggal di apartemen di Braga, cewek-cewek asal jerman yang aku ajak bermain kata ketika pulang dari taman, dan beberapa lain yang sudah aku tak ingat sama sekali.
Jika diminta menentukan apa momen terbaik selama menjadi volunteer di Portugal, aku akan memilih bagian ini. Serra da Estrela seakan ruang untuk kabur dari rutinitas, lokasi untuk kabur dari kegiatan utama yang membosankan, tempat untuk bahagia. Karena, aku rasa, waktu itu aku sangat bahagia.
Aku akan selalu ingat momen-momen duduk di balkon hostel dan merasakan embun pagi dan udara segar. Menikmati sarapan roti dan segelas susu di depan perapian, mengeksplorasi kawasan taman nasional yang luar biasa cantik.
Malam itu kami berpesta agak panjang. Dua panitia senior yang mendampingi kami selama seminggu terakhir pun ikut hadir. Di suatu momen, aku bercakap-cakap dengannya,
“Kamu dari Indonesia bukan? Aku pikir kamu mendapatkan kesempatan yang bagus datang ke sini. Menjalani hidup dan menikmati waktu mudamu. Aku pikir, masa muda memang harus dihabiskan semenyenakan mungkin, aku harap kau merasakan semuanya,” ujar bapak-bapak tua tersebut sambil menepuk pundakku, dan meminta izin untuk kembali ke kamarnya.
Pesta berlanjut. Beberapa orang sepertinya sudah mabuk. Besok, sebelum pulang ke kota kami masing-masing, kami akan menghabiskan satu hari lagi untuk makan malam penutup dan menjelajahi di kota kecil nan lengang Covilha.
Kota Lengang Covilha
Covilha adalah kota kecil di bawah pegunungan Serra da Estrela. Ini adalah kota terakhir sebelum taman nasional tersebut. Sepertinya, orang-orang akan menginap di sini dulu dan merasakan hawa hangat terakhir sebelum merasakan suhu dingin di atas gunung.
Aku melihat, dari atas bus yang menukik ke bawah di jalanan yang berkelok, Kota ini kota yang kecil. Dan lengang. Tak banyak aktivitas penduduk kota di siang hari. Aku memperhatikan, hanya ada beberapa turis yang sedang menikmati kopi di kafe-kafe.
Siang sebelum makan malam kami diajak ke sebuah museum tua. Aku lupa museum apa, namun aku rasa, museum ini merupakan museum tekstil tua dengan peralatan yang tradisional. Selebihnya, aku tak terlalu mengingat kunjungan ini, menyesal sekali, rasanya waktu itu ada guide yang memberi penjelasan untuk koleksi-koleksi di museum.
Museum ini berlokasi tepat di sebelah kampus ini. Kaget, google memberi catatan bahwa aku mengunjungi tempat ini 5 tahun lalu. Nanti juga aku tambahkan foto yang aku ambil ketika berkunjung ke tempat ini.
Sorenya kami dibiarkan bebas mengunjungi kota. Aku berjalan sendiri sekalian mencari oleh-oleh. Aku mengunjungi beberapa sudut kota. Aku takjub banyak mural-mural yang terlihat di dinding bangunan. Ada gereja tua yang mungil juga di tengah tengah lorong-lorong sempit.
Seperti rencana, ketika malam tiba kami melakukan malam bersama. Bersulang untuk seminggu yang sangat menyenangkan. Bercerita-cerita tentang hal-hal seru lain. Menyanyi lagu-lagu. Bodoh juga, waktu itu aku tak berani maju ke depan dan membawakan lagu dari bahasaku sendiri. Entahlah kenapa aku bisa semalas itu, maksudnya aku jadi tak punya kenangan lain untuk diingat kecuali aku tak melakukan apa-apa.
Saking kecil kota itu, gerombolan kami sempat menguasai kota dan menari-nari di alun-alun kota. Tentu hal ini menarik perhatian beberapa pengunjung dan penduduk kota, namun kami seperti tidak peduli dan kami terus menari dan bernyanyi.
Waktu yang sangat menyenangkan.
Pulang ke hostel di atas bus kami terus menyanyi. Kami tak peduli, hari terakhir memang harus dihabiskan dengan bersenang-senang. Dan, itulah yang kami lakukan. Seperti kata bapak-bapak tua yang semalam sebelumnya mengobrol denganku, masa muda memang harus dihabiskan sebaik mungkin.
Keesokan hari, aku kembali ke Braga. Aku menaiki bus, mencoba menikmati perjalanan, namun sisanya aku tertidur.