Sampah plastik masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Indonesia sendiri bertengger di peringkat kedua negara produsen sampah plastik ke lautan terbesar di dunia.
Per tahun Indonesia menghasilkan 3,2 juta ton sampah plastik dan sebagian besar sampah tersebut berakhir di lautan karena tidak terolah. Bila dirata-rata, setiap penduduk Indonesia bertanggung jawab atas 17,2 kg sampah plastik yang mengapung dan mencemari ekosistem di laut.
Tidak saja sampah plastik, sampah sisa makanan menjadi salah satu penyebab pencemaran lingkungan. Jumlah produksi sampah telah jauh melampaui kapasitas pengelolaan sampah itu sendiri.
Hasilnya, menyebabkan eskalasi pencemaran di lingkungan mencapai titik krisis. Mulai dari kondisi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang sudah terancam melebihi kapasitas, pencemaran ekosistem pantai dan laut, kontaminasi rantai makanan makhluk hidup, hingga
ancaman krisis iklim yang sudah di depan mata.
Lalu, apa solusi untuk masalah sampah yang yang kian hari semakin penting untuk segera ditangani?
Menekan Sampah di Sekolah
Balebengong berkunjung ke SDN 7 Dauh Puri, Denpasar pada Jumat 11 November 2022. SDN 7 Dauh Puri beralamat di Jl. Pulau Batanta №83, Dauh Puri Kauh, Kec. Denpasar Bar., Kota Denpasar, Bali. Kunjungan ini untuk melihat langsung bagaimana warga lingkungan sekolah bisa berperan langsung dalam permasalahan sampah di sekolah.
Sejak tahun 2016, sekolah dasar ini telah memulai program-program terkait permasalahan sampah dan lingkungan hidup. Ni Luh Putu Ariani, Kepala Sekolah SDN 7 Dauh Puri mengatakan dirinya sangat mendukung program-program terkait permasalahan sampah dan lingkungan hidup. Tahun 2019, salah satu LSM di Bali yaitu, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali ikut mendampingi SDN 7 Dauh Puri untuk mengatasi permasalahan sampah di lingkungan sekolah.
SDN 7 Dauh Puri menjalankan berbagai program untuk mengatasi permasalahan sampah di lingkungan sekolah. Salah satu program yang menarik adalah kantin swakelola. Keunikan dari kantin swakelola ini adalah semua makanan dan minuman yang dijual tanpa penggunaan plastik sekali pakai. Peralatan makan misalnya, kantin ini menyediakan piring kecil untuk digunakan. Sementara peralatan minum, siswa-siswi di SDN 7 Dauh Puri sudah tertib membawa botol minuman dari rumah.
Botol minum siswa SDN 7 Dauh Puri, Denpasar yang diletakan di depan ruang kelas. Sumber: Dokumen Harun
Menekan sampah dengan membuat kantin swakelola bebas plastik ini merupakan langkah yang patut diapresiasi, karena sebagian besar sampah di lingkungan sekolah berasal dari kantin sekolah yang tidak dikelola dengan baik. Kepala sekolah juga mengamini bahwa menjalankan kantin swakelola bebas plastik merupakan langkah nyata untuk mengurangi peredaran sampah di sekolah.
Selain itu, yang menarik dari tata pengelolaan sampah dan lingkungan hidup yang diterapkan di SDN 7 Dauh Puri adalah bagaimana siswa dilibatkan langsung dalam program-program yang dijalankan. Misalnya pada program Kader Kompos, siswa-siswi diajak untuk mengolah sampah organik yang ada di lingkungan sekolah untuk dijadikan kompos. Edri salah satu siswa kader kompos yang Balebengong temui bisa dengan lancar menjelaskan bagaimana proses pengomposan sampah organik dilakukan.
Siswa SDN 7 Dauh Puri yang menjadi kader RTH, bertugas untuk menjaga dan merawat ruang RTH di lingkungan sekolah. Sumber: Dokumen Harun
Tak hanya itu, hasil dari program kader kompos yaitu pupuk kompos, diteruskan untuk program-program lain seperti, kader Ruang Terbuka Hijau (RTH), program kader Greenhouse, dan Tanaman Obat Keluarga. Selanjutnya, untuk pengawasan, SDN 7 Dauh Puri juga membuat sistem pemantauan yang dilakukan oleh siswa-siswi sendiri yaitu dengan membuat program Polisi Lingkungan. Polisi Lingkungan sendiri bertugas untuk mengawasi dan memberikan peringatan bagi warga lingkungan sekolah untuk tetap menjaga kebersihan.
Bergerak dengan penuh komitmen dan konsistensi, SDN 7 Dauh Puri telah ikut ambil bagian dalam permasalah sampah yang terjadi di Bali.
Batasi Kantong Plastik di Pasar Tradisional
Sejak tahun 2018, pemerintah Bali mengeluarkan peraturan Gubernur Bali №97 Tahun 2018 tentang pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Segera setelah peraturan ini diterbitkan, pasar modern seperti supermarket dan minimarket mulai tidak menyediakan kantong plastik. Hasilnya, berdasarkan data dari Pemerintah Kota Denpasar, Kantong plastik sekali pakai bisa berkurang hingga 60 persen. Namun pertanyaannya, apakah data pengurangan kantong plastik ini juga terjadi di pasar tradisional?
Data dari DLHK Provinsi Bali, sebagai contoh kasus di Pasar Sindu Sanur, jumlah total pemakaian kantong plastik besar oleh seluruh pedagang setiap bulan mencapai 5.730 pcs, sementara untuk kantong plastik kecil mencapai 47.250 pcs per bulan. Hal ini tentu kontraproduktif dengan peraturan Gubernur Bali №97 Tahun 2018 yang telah dikeluarkan.
Oleh karena itu, sejak 10 Januari 2022 lalu, pasar Sindu Sanur dijadikan pasar percontohan bebas plastik di Kota Denpasar. PPLH Bali, Diet Kantong Plastik, menjadi pendamping dalam program ini. Dukungan penuh juga diberikan oleh Unit Pasar Sindu Sanur, DLHK, dan Disperindag Kota Denpasar.
Hampir 10 Bulan berlalu, bagaimana penerapan pasar bebas plastik di Pasar Sindu?
Balebongong berkunjung ke Pasar Sindu pada Kamis 10 November 2022 untuk melihat bagaimana program pasar bebas plastik ini dijalankan. Pasar sindu berlokasi di Jl. Ps. Sindu №5, Sanur, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali.
Bagian aula depan pasar Sindu Sanur, Kamis 10, November 2022. Sumber: Dokumen Harun
Beberapa pembeli terlihat datang membawa kantong belanja sendiri. Namun, tak sedikit juga pedagang dan para pembeli yang tampak masih menggunakan kantong plastik sekali pakai. PPLH Bali dan Pengelola Unit Pasar Sindu Sanur mengakui bahwa penerapan pengurangan kantong plastik sekali pakai masih hanya sebesar 40 persen. Pembeli yang lupa membawa kantong belanja atau pembeli yang membeli belanjaan dalam jumlah besar sehingga terpaksa menggunakan plastik menjadi salah satu kendala dan hambatan yang dialami.
Suasana di Pasar Sindu Sanur, 10 November 2022. Sumber: Dokumen Harun
Sejatinya, pembeli mendukung program pasar bebas plastik. Sudarma (60) mengungkapkan bahwa dirinya tidak ada masalah terkait larangan penggunaan plastik. Dia mengatakan bahwa pengurangan plastik bagus untuk lingkungan. Namun, dia melihat beberapa pembeli dan penjual kembali menggunakan plastik. “Dulu kalau pakai plastik ditegur, sekarang tidak,” ujarnya.
Wayan Ratni (55) pedagang di Pasar Sindu Sanur juga berpendapat sama. Menurutnya program larangan penggunaan plastik bagus untuk diterapkan. Dia berharap, larangan penggunaan plastik sekali pakai bisa membuat pasar lebih bersih dan nyaman dikunjungi. “Iya, kalau pasar bersih kan banyak orang berkunjung,” jelasnya.
Pasar Sindu Sanur yang berlokasi di kawasan wisata sanur juga tak jarang dikunjungi wisatawan mancanegara. Dan ditanya perihal pelarangan kantong plastik di pasar Sindu, Libby dan Lauren, wisatawan asal Australia mengatakan bahwa mereka mendukung program ini. Mereka beranggapan bahwa program ini sangat baik untuk dilakukan.
“Ya, kami dengar tentang peraturan itu, dan kami masih belajar. Kami rasa aturan ini sangat baik, dan kami perlu untuk terus diberikan edukasi terkait hal ini,” Ujar Libby.
Terkait sosialisasi yang dilakukan, PPLH Bali dan pengelola pasar Sindu Sanur sendiri mengatakan mereka telah menerapkan berbagai media kampanye untuk sosialisasi program ini. Melakukan edukasi ke pembeli dan pedagang serta menyebarkan selebaran juga telah dilakukan. Peraturan Gubernur Bali tentang pembatasan timbulan plastik memang bukan hanya berlaku bagi pasar modern, tetapi juga untuk pasar tradisional.
Mengelola Sampah dari Sumber
Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka penanganan dan pengurangan permasalahan sampah di Pulau Dewata. Salah satunya adalah Kebijakan Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (Psp) Pergub №97/2018 yang diterbitkan pada 21 Desember 2018. Selain itu, ada juga Pergub №47/2019 mengenai Kebijakan Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber, Ada juga Kepgub 381/2021: Tata Kelola Sampah Berbasis Sumber Desa, dan Instruksi Gub 8324/2021: Tata Kelola Sampah Berbasis Sumber Desa.
Untuk menambahkan konteks dan mengetahui kondisi pengelolaan sampah di Bali, berdasarkan data dari DLHK Provinsi Bali, rata-rata timbulan sampah di Provinsi Bali mencapai 4.281 ton/hari. Selain itu, sebanyak 50% sampah masuk ke TPA dan masih ada 28% sampah yang belum terkelola dan terbuang ke Lingkungan, dan 19,7 % komposisi sampah terdiri dari sampah plastik. Melihat data-data di atas, Pergub №47/2019 mengenai Kebijakan Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber kian perlu untuk diterapkan di semua desa di Bali.
Pada dasarnya pengelolaan sampah berbasis sumber artinya, melakukan pengelolaan sampah dengan cara: a. menggunakan dan memilih bahan yang mengandung sedikit Sampah;
b. tidak menggunakan plastik sekali pakai; c. memanfaatkan dan menggunakan kembali Sampah sesuai fungsinya atau dengan fungsi yang lain; d. menyediakan tempat Sampah yang terpilah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); e. mengumpulkan Sampah; f. menyetor Sampah Yang Tidak Mudah Terurai Oleh Alam ke Bank Sampah dan/atau FPS; g. mengolah Sampah yang mudah terurai oleh alam; dan h. mengangkut Sampah residu ke TPA.
Selain itu, pengelola kawasan dan fasilitas dalam melakukan pengolahan Sampah yang mudah terurai oleh alam dilakukan dengan cara: a. mengolah sendiri di dalam kawasan, dan/atau b. bekerja sama dengan TPS 3R pada tingkat Desa Adat atau Desa/ Kelurahan. Salah satu upaya untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber adalah pengelolaan sampah di TPS3R Desa Lebih, Gianyar.
Kamis 10 November 2022, Balebengong datang ke TPS3R Desa Lebih Gianyar. Kedatangan ini untuk melihat bagaimana pengelolaan sampah di Desa Lebih. TPS3R yang merupakan fasilitas pengelolaan sampah di Desa Lebih yang sudah mulai beroperasi. Dukungan penuh dari Kepala Desa Lebih membuat TPS3R di Desa Lebih segera berjalan.
TPS3R Desa Lebih ini mempunyai beberapa karyawan yang mengelola fasilitas pengolahan sampah ini. Balebengong sempat melihat langsung bagaimana pengelola melakukan pengolahan terhadap sampah organik warga Desa Lebih. Pengelola mengaku telah menghasilkan kompos dari sampah organik sejumlah 250 Kilogram dalam beberapa bulan beroperasi.
Salah satu hasil pengolahan sampah organik di TPS3R Desa Lebih, Gianyar. Sumber: Dokumen Harun
Meskipun telah berjalan beberapa bulan, TPS3R ini bukan tanpa masalah. Desain fasilitas yang kurang memadai membuat jumlah pengolahan sampah organik kurang maksimal. Selain itu, kesadaran warga untuk memilah sampah dari rumah juga membuat para pengelola tidak bisa langsung melakukan pengolahan, hasilnya, sampah yang tercampur tersebut tak bisa diolah dan harus dibawa ke TPA.
Tak hanya berbicara dengan pengelola TPS3R, Balebengong juga berbincang dengan warga yang menjadi pelanggan pengangkutan sampah di TPS3R Desa Lebih. Bu Ria, salah satu warga yang menjadi pelanggan TPS3R mengaku tidak kesulitan dalam memisahkan sampah rumah tangga yang dihasilkan. Dia juga mempunyai kesadaran mengenai pentingnya pemilahan sampah untuk lingkungan.
Bu Ria, warga Desa Lebih yang telah memilah sampah dan berlangganan pengangkutan sampah di TPS3R. Sumber: Dokumen Harun
Salah satu mitra dan pendamping TPS3R Desa Lebih dalam mengelola fasilitas pengolahan sampah ini adalah PPLH Bali. Selanjutnya, mereka akan terus menggalakan dan memberikan edukasi dan bimbingan bagi warga Desa Lebih.
Solusi Palsu Pemerintah
Pemerintah pusat sendiri punya pendekatan berbeda dalam urusan penanganan permasalahan sampah. Pemerintah pusat datang dengan ide untuk mengatasi permasalahan sampah menjadi energi atau Waste to Energy (WTE). Diambil dari catatan WALHI, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 terdapat 201 proyek dan 10 program Proyek Strategis Nasional (PSN) dan WTE termasuk ke dalam program percepatan infrastruktur ketenagalistrikan.
Selain itu, dalam penelusuran yang dilakukan WALHI Indonesia pada Rencana Bauran Energi Baru Terbarukan dalam Dokumen RUPTL 2021–2030 PLN tahun 2021, PLT Biomassa/Sampah dimasukan sebagai bagian dari penambahan bauran energi baru terbarukan atau EBT. Artinya, dengan proyek WTE ini, menurut pemerintah hal ini telah mendapatkan dua keuntungan yaitu, mengurangi sampah dan mendapatkan energi dari pengelolaan sampah.
Lalu mengapa proyek ini dianggap sebagai solusi palsu?
Menurut keterangan Abdul Ghofar dari WALHI Indonesia, program WTE merupakan solusi palsu. Beberapa kritik atau catatan WALHI terhadap program WTE diantaranya adalah: Investasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) sangat mahal dan risiko kerugian finansial tinggi; Potensi lepasan emisi beracun dioksin dan furan, serta kewajiban pengujian hanya 5 tahun sekali; dan Belum terbukti keberhasilan PLTSa/PSEL dari yang sudah beroperasi.
Hal yang sama diamini oleh Yobel Novian dari Organisasi Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA). Menurut Yobel, proyek-proyek WTE hanya solusi palsu terhadap permasalahan sampah yang dihadapi.
Menurutnya, banyak klaim-klaim belum terbukti yang menjadi dasar proyek WTE. Misalnya, klaim mengenai proyek WTE merupakan proyek energi ramah lingkungan atau energi terbarukan, ada juga klaim mengenai incinerator sebagai teknologi yang rendah karbo, atau klaim tentang WTE yang aman bagi manusia dan lingkungan sekitar.
Yobel bercerita bahwa, di berbagai negara, WTE sendiri mempunyai berbagai nama. Diantaranya, Waste incineration with energy recovery, Energy-from-Waste (EFW), Plastic-to-Fuel (PTF), Advance thermal treatment, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri, proyek WTE mempunyai beberapa sebutan misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL), atau Intermediate Treatment Facility (ITF).
Yobel juga menekankan bahwa, sebuah WTE apapun jenisnya, pasti dan hampir pasti akan membawa dampak lanjutan berupa partikel berbahaya yang sangat halus dan mikroplastik. Inilah kenapa, solusi yang ditawarkan pemerintah dianggap solusi palsu.
Zero Waste
Mengurangi, Memakai kembali, mendaur ulang. Sumber: Pexels
Penanganan permasalahan sampah tidak cukup hanya dibebankan pada pengelolaan hilir saja, melainkan pengurangan produksi dari sisi hulu perlu menjadi langkah prioritas. Ditanya perihal solusi yang ada untuk menangani permasalahan sampah, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) beserta anggota menawarkan beberapa solusi yang ramah lingkungan, yakni Pasar Bebas Plastik dan Zero Waste Cities yang sudah berjalan di beberapa daerah termasuk di Provinsi Bali.
Pasar Sindu yang merupakan pasar percontohan pasar bebas plastik dan Desa Lebih Gianyar yang dijadikan percontohan Zero Waste City diharapkan bisa menjadi pioneer pengelolaan sampah di Bali dan di Indonesia pada umumnya.
Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), David Sutasurya berargumen bahwa kerangka zero waste city dalam jangka pendek mampu mengatasi masalah sampah yang terjadi. Hal ini karena menurut data yang Dia punya, sekitar 60% sampah yang dihasilkan masyarakat merupakan sampah organik. Dengan melakukan pengolahan sampah organik, menurutnya, angka tersebut sangat bisa mengurangi beban TPA.
Menurut David, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan penanganan berwawasan lingkungan dengan melakukan pemilahan, daur ulang dan pengomposan, serta sebisa mungkin untuk menghindari dan mengurangi sampah yang dibawa ke TPA.
Selain itu, penting juga untuk melakukan pengurangan sumber sampah (Source Reduction), pengurangan/pelarangan kemasan dan produk sekali pakai (kantong Plastik, styrofoam, sachet dll), dan penggunaan kemasan dan produk pakai ulang (reuse), serta melakukan perbaikan untuk barang-barang yang masih bisa digunakan (repair).
Namun David menggarisbawahi bahwa, permasalahan sampah tidak boleh hanya di bebas lepaskan hanya kepada masyarakat. Pemerintah dengan semua sumber daya dan political will yang ada harus bisa memberikan solusi yang pro terhadap lingkungan.
Dalam rekomendasinya, David menyarankan agar pemerintah melakukan Phasing out dan pelarangan segera sampah organik ke TPA dan hentikan proyek teknologi termal yang sedang berlangsung dan yang direncanakan (incinerator, Waste-to-Energy, RDF) untuk mengantisipasi dampak jangka pendek. Untuk mengatasi dampak jangka menengah, pemerintah harus segera menerbitkan aturan untuk pelarangan produk dan kemasan plastik sekali pakai. Dan dalam untuk mengatasi dampak jangka panjang, pemerintah bisa mempercepat kewajiban produsen untuk menerapkan sistem refill, repair dan reuse secara maksimal.
Tayang di Balebengong.id tapi linknya hilang.