Kau Bisa Memilih Bahagiamu Sendiri

Nightman
4 min readDec 22, 2023

--

Photo by Brooke Cagle on Unsplash

Sebelum lanjut lebih jauh, kamu bisa berhenti membaca artikel ini di sini. Karena, menyangkut kebahagiaan, ini akan sangat personal. Tulisan ini akan benar-benar berasal dari diri pribadi. Ya, akan sangat subjektif.

Selain itu, ukuran kebahagiaan seseorang juga bisa berbeda-beda. Dan aku tidak ingin jadi sotoy dan menggurui di sisi ini.

Namun, jika ingin membaca bagaimana aku memandang kebahagiaan, kamu bisa lanjut dan menyelesaikan dua paragraf awal yang kamu telah baca tadi.

Sabtu, 16 Desember 2023 lalu aku mengikuti program belajarnya Act Global. Di program belajar kali ini sedang membahas mengenai apa yang diharapkan di tahun yang akan datang. Pembicaranya adalah seorang psikolog dari Denpasar.

Dia membuka sesi dengan pertanyaan reflektif, “Bagaimana tahun 2023 kalian?”

Dua kali bertanya kepada audiens yang masih malu-malu, aku coba menjawab, “Aku rasa, tahun ini tidak buruk, namun juga tidak berjalan sesuai yang aku mau. Banyak rencana-rencana yang tidak terlaksana, yang membuat sedih, namun beberapa hal lain juga membuat saya cukup bersyukur dan bahagia”

“Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu bersedih dan membuatmu bahagia tahun ini?” dia kembali mengajukan pertanyaan. Aku menjawab, “Hmmm, karirku mandek bikin sedih, namun aku senang sekali karena adikku baru saja mendapatkan beasiswa untuk kuliah.”

Kemudian, seorang lain juga bercerita bagaimana dirinya tahun ini mencapai apa yang dia ingingkan. Hal ini tentu membuatnya juga merasa bahagia.

Lalu, si pembicara menjelaskan bahwa, bahagia memang bisa datang dari faktor luar, atau faktor dari dalam diri.

Sesorang bisa bahagia karena melihat orang lain bahagaia. Atau seseorang juga bisa bahagia karena telah menyampai sesuatu yang berarti, misalnya berhasil mendaki gunung yang tinggi, atau nilai pelajaran yang baik.

Aku kemudian merenung, kembali mencoba memahami apa yang sebenarnya membuatku benar-benar bahagia? Aku agak bingung. Pertanyaan ini tidak mudah, tak ada jawaban yang aku temukan di dalam kepala.

Tapi, agar tidak terlalu jauh, aku mempunyai definisi “bahagia” menurutuku. Sebelumnya, aku ingin memberikan konteks mengenai konsep kebahagiaan yang aku percaya. Konsep ini aku baca dari buku yang pernah aku baca beberapa tahun lalu. Semoga tidak salah ingat ya.

Intinya, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa tingkat kebahagiaan seseorang dapat diukur dengan ukuran atau metrik, misalnya, skala 1 hingga 10. Seseorang mungkin meraih tingkat kebahagiaan 9 atau 10 dengan mudah, sementara yang lain mungkin hanya mencapai angka 6 atau 7. Hasilnya, impuls kebahagiaan bisa dipicu oleh berbagai hal, baik dari luar maupun dari dalam diri seseorang. Ada yang merasa bahagia hanya dengan mendapatkan hadiah kecil dari teman, sementara yang lain memerlukan pencapaian besar untuk merasakan getaran kecil dari kebahagiaan itu sendiri.

Semoga penjelasan tadi masuk akal dan bisa dipahami. Lanjut!

Aku merasa, aku selalu menjadi orang yang metrik atau tingkat kebahagiaanya rendah. Aku pikir aku tak terlalu bisa memberi ruang bagi emosiku untuk merasakan perasaan bahagia yang lebih.

Aku tak terlalu memusingkan mengenai hal ini. Karena, aku pikir kita memang punya cara untuk bahagia masing-masing.

Namun, aku jadi ingat beberapa hari lalu seorang kolega di kantor memberi komentar, “Harun, sepertinya kamu selalu bahagia ya?”

“Hah, kenapa tiba-tiba?” aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lagi.

“Aku perhatikan, kamu setiap hari selalu calm, dan kelihatannya selalu bahagia, karena kamu bisa santai dan bernyanyi setiap hari,” jelasnya.

Jawaban yang tak terlalu mengejutkan karena, aku ingat juga, seorang teman yang lain memberikan pujian yang sama beberapa waktu lalu dengan mengatakan aku orang yang ceria karena aku sering mendendangkan lagu kala tiba di meja kerja saban hari.

Merespon kedua teman tadi, aku sebenarnya hanya nyengir dan tertawa mendengar pandangan mereka.

Karena, aku sendiri sering mengklaim diri sendiri sebagai orang yang pesimis. Bisa jadi, aku sering merasa tak terlalu bahagia karena aku rasa aku terlalu pesimis melihat hal-hal yang terjadi dalam hidup.

Maksudnya, jika apa yang aku harapkan memang benar-benar terjadi, aku akan seperti, “oke bagus, yaudah.” Jika tidak, aku juga tak akan terlalu ambil pusing karena telah pesimis terlebih dahulu.

Aku pikir seorang pesimistis sepertiku memang terlalu takut kecewa, bisa jadi.

Aku setuju dengan apa yang Dea Anugrah katakan dalam sebuah wawancara, bahwa pesimisme tidak berarti hanya membayangkan masa depan yang gelap. Dia menambahkan, orang-orang pesimis justru lebih siap dan tak terlalu kecewa ketika hal yang tak diinginkan terjadi.

“Justru menurutku, orang bisa melihat keindahan hidup kalau dia pesimistis. Kalau dia optimistis, dia nggak siap kecewa. (Kalau) kamu nggak siap kecewa, ketika ekspektasimu patah, ya gelap semua. Ya nggak ada indah-indahnya hidup,” paparnya.

Mengakhiri tulisan ini, tadi di awal tulisan aku bertanya, apa yang benar-benar membuatku bahagia dan aku tak menemukan jelas apa jawabannya. Namun, aku tahu aku sedang di posisi, “Not sad, not fulfilled”. Seperti judul album band Grrl Gang yang sedang banyak aku dengarkan akhir-akhir ini.

Mungkin, aku tak bahagia dan aku juga tak bersedih, namun aku hanya tak merasa semuanya memuaskan.

Belajar memahami masa depan
Tak kah yang disimpan akan tenang
Melahirkan semua nada indah
Mencoba menjadi bahagiamu sendiri

--

--

Nightman
Nightman

Written by Nightman

Pencatat hal-hal kecil yang terlewat, mengaku sebagai penyuka buku, musik, film, dan jalan-jalan di jam tiga dini hari.

No responses yet