Beberapa bulan lalu, seorang teman membuat story instagram mengenai lagu baru yang ia suka. Tentu saat instastory itu melintas, saya cuma membaca dan tidak melanjutkan mengklik atau mendengar lagu yang dia bagi. Lagian, saya rasa tidak ada yang benar-benar peduli dengan lagu yang dibagikan di instastory.
Namun, saat bertemu tatap muka dengannya, dia kembali membicarakan mengenai lagu tersebut lalu memaksa saya untuk ikut mendengarnya. Saya menurut.
Kesan pertama, saya cukup menolak dengan cara menyanyi seperti tidak membuka mulut dari penyanyi band tersebut. Meskipun nadanya cukup easy listening, seperti lagu-lagu yang saya suka biasanya saat itu saya belum mampu mencerna dengan baik lagu yang dia dengarkan tersebut.
Saya hanya mengangguk-angguk pelan ketika lagu itu selesai diputar. Dia tetap keukeuh mengatakan lagunya bagus.
Lagu yang dia rekomendasikan adalah, If you know that I’m lonely milik band bernama FUR. Dengan huruf besar semua.
Lama berselang, nada lagu dan musik yang gampang didengar tersebut masih melintas di kepala saya. Akhirnya, di tengah pekerjaan yang membutuhkan musik untuk diputar dalam rangka mengantar hari-hari supaya cepat berlalu, saya memutuskan untuk kembali mendengarkan lagu milik FUR tersebut.
Saya memutarnya melalui platform spotify yang tidak premium diselingi iklan yang dibuat anak magang yang mengesalkan sekali untuk didengar. Atau iklan-iklan podcast yang tidak akan saya dengarkan setelah mereka menawarkan diri untuk didengar secara banal seperti itu. Alhasil, karena belum premium, saya dipaksa mendengar lagu-lagu lain secara acak dan tetap berusaha mencernanya.
Selain If you know that i’m lonely saya mulai menyukai lagu-lagu lain yang mereka nyanyikan. Lirik yang tidak terlalu susah. Musik yang easy listening dengan nuansa 60an membuat saya akhirnya menyatakan diri jatuh cinta dengan lagu-lagu FUR.
Tanpa mengecek kembali di google, saya telah mengingat dan bisa menyanyikan sepatah-sepatah untuk beberapa lagu. Diantaranya, saya menyukai Nothing Untuk Something Come Along, Him or Her, Anybody Else but Me, Angel Eyes dan masih banyak lagi yang jika saya sebutkan tidak akan terlalu berguna juga untuk kepentingan tulisan ini.
Berjalannya waktu, saya semakin menyukai FUR, ketika salah seorang netizen di Youtube menyebut bahwa FUR adalah reinkarnasi The Beatles dalam bentuk yang lebih lucu. Saya langsung mengamini.
Sebagai penggemar The Beatles, saya akan sangat senang jika ada band sezaman yang mempunyai gaya yang sama dengan Paul, John, George, dan Ringo. Namun, sebenarnya, FUR lebih mirip dengan musik dengan gaya dari Elvis Presley.
Seperti orang yang jatuh cinta pada umumnya, saya mulai terus-memutar lagi dan lagi lagu-lagu FUR. Mereka selalu menjadi playlist yang saya putar setiap harinya. Paling sering, saya biasanya memutar lagu-lagu FUR dalam perjalanan ke kantor.
Sedikit konteks, saya akhirnya lelah dengan spotify yang tidak premium dan mencoba mendaftar spotify yang premium bersama beberapa teman dengan paket keluarga. Saya rasa keluarga palsu ini memberi kemudahan karena harga paket ini menjadi lebih murah. Iklan-iklan di spotify rasanya memang terlalu menjengkelkan.
Berhubung Spotify yang saya gunakan premium, lagu-lagu yang terputar mulai dari lagu-lagu yang menurut banyak orang merupakan lagu yang bagus dan layak didengarkan.
Hal ini terus saya lakukan setidaknya selama dua atau tiga bulan terakhir. FUR selalu menjadi playlist yang saya putar untuk berangkat bekerja. Saya bahkan sampai pada pemahaman bahwa jika sudah mencapai di lagu tertentu, perjalanan ke kantor sudah sampai titik sebentar lagi akan segera sampai. Saya tahu, jika lagu “Creature” telah berputar, tandanya saya akan segera sampai di kantor dan belum terlambat. Atau juga jadi tanda untuk mengatur kecepatan agar segera memutar tuas gas untuk segera sampai di kantor.
Kantor tempat saya bekerja di Kerobokan, dari kos biasanya menempuh perjalanan selama 45 menit. Bisa lebih cepat kalau tidak macet dan bisa lebih lama kalau macet. Selama waktu tersebut, FUR menjadi teman perjalanan yang mengasyikan untuk menyanyi bersama atau bergumam sendiri.
Dalam beberapa kasus, sepertinya ada yang menoleh heran. Namun, tentu mereka tidak tahu, lagu yang saya putar enaknya bukan main.
Hitungannya juga, saya terlambat beberapa tahun untuk menyukai band asal Inggris ini.
Nah ketika, beberapa hari lalu seorang teman mengatakan bahwa FUR akan manggung di Bali, hati kecil saya langsung tergerak untuk datang melihat langsung Band yang selama ini saya putar di Spotify. Dalam hati, saya ingin sekali membeli tiketnya. Namun, di sisi lain tiketnya memang cukup mahal. Sempat terjadi perdebatan yang sengit mengenai apakah saya harus menonton atau tidak.
Kedua kubu cukup beralasan dengan argumen masing-masing.
Pro Nonton: “Kapan lagi nonton FUR di stage yang kecil dan intimate?”
Kontra Nonton: “Tapi kan bisa nonton di Youtube atau puter di spotify?!”
Pro Nonton: “Benar, tapi pengalaman langsung itu rasanya berbeda. Ingat nggak dialog di film Good Will Hunting?” (Shit malah nyinggung film favorit lagi)
Kontra Nonton: “Uangnya kan bisa dipakai untuk hal-hal lain yang lebih berguna.”
Perdebatan terus berlangsung beberapa saat hingga keinginan untuk menonton, menjadi pemenang.
Untuk cerita pengalaman nonton konser FUR, bisa baca di sini
Kesan-Kesan yang lain
Selain FUR, yang menarik dari malam itu adalah saya mengenal orang-orang baru. Karena sebenarnya, saya cukup tidak punya energi untuk bercakap, terlebih dengan orang baru. Kebiasaan yang sering saya lakukan ketika datang ke suatu acara adalah datang secara senyap dan pulang secara senyap juga. Alasannya sih, saya sepertinya introvert dan tidak punya banyak tenaga untuk mencoba menyapa dan berinteraksi dengan teman yang saya kenal namun tidak dekat-dekat amat, apalagi orang baru.
Namun, saya tidak ingin malam FUR jadi malam yang biasa saja. Alhasil saya coba menyapa setidaknya tiga orang pada malam itu dan mereka menjadi kawan untuk menari-nari dalam musik FUR yang menyenangkan.
Saya menyapa Ismi, perempuan dengan earing di hidung yang nyentrik. Dia menyebut datang ke Hard Rock khusus untuk FUR. Dirinya bercerita telah lama tahu dan mendengar musik-musik FUR.
Kata dia, sudah 6 tahun terakhir tinggal di Bali tepatnya di Canggu, dirinya mengaku bekerja sebagai barista. Dan FUR menurutnya adalah Band yang harus dirayakan. Dia rela menerabas macetnya Canggu dan Kuta untuk bertemu para personel Band FUR.
Ismi bahkan datang dengan peralatan yang lengkap. Kamera kecil untuk memfoto dan spidol untuk meminta tanda tangan.
Dan tentu untuk bersenang-senang bersama FUR.
Dua orang lain yang sangat berkesan malam itu tentu adalah Dian dan Saiful. Dian selama FUR tampil tidak berhenti menari. Sepertinya dia cukup bersenang-senang malam itu. Sebuah kalimat yang bijak dari film Jojo the Rabbit, menyebut bahwa menari memang untuk orang-orang yang bebas. Nah, Dian sepertinya memang orang-orang yang bebas.
Tidak sempat mengobrol banyak. Namun, dia berbaik hati untuk beberapa kali mengambil gambar serta membantu mendokumentasikan dalam bentuk video selama lagu Nothing Until Something dibawakan. Waktu itu, saya rasanya hanya ingin menikmati lagu tersebut saja.
Saya senang sekali ketika dia menawarkan dirinya untuk membantu memvideokan FUR saat membawakan lagu tersebut.
Selain itu, kebahagiaan juga sepertinya menular. Dari yang malu-malu untuk bergerak menari, melihat Dian yang sepanjang lagu terus menggerakan tubuhnya dan mengikuti irama lagu, saya akhirnya terbawa dan ikut menari bersamanya.
Tentu malam yang tidak akan saya lupakan. Ada saat dia melongo dan bengong serta tidak menyangka ketika, FUR tiba-tiba membawakan If you know that i’m lonely.
Selain itu, ada Saiful. Saya baru berbicara dengan Saiful ketika konser telah selesai. Dengan bodoh saya beranggapan bahwa dia orang Indonesia. Hanya karena sama-sama melayu, sepanjang konser saya sedikit mengobrol dengannya dalam bahasa Indonesia.
Dalam suatu percakapan yang saya sebenarnya terlalu mengerti, dia tiba-tiba, bertanya, “Have you ever been to Singapore?”
Saya hanya menjawabnya bercanda, “I have been to Changi, if it’s count.”
Ketika konser usai dan suara-suara mulai terdengar jelas, baru lah dia mengatakan bahwa dia dari Singapura.
“See you on Instagram, laa,” ucapnya saat kami telah bertukar Instagram dan berpisah.
Saya rasa tidak berlebihan menulis untuk pengalaman seru kali ini. Saya cukup puas. Malam yang menyenangkan.
Seperti penggemar-penggemar pada umumnya yang akan berfoto dengan para personil FUR usai acara, pun saya melakukan hal yang sama. Saya ingin mengikat memori ini kuat-kuat dan mengingatnya kembali ketika tua nanti.