Saat saya tiba di rumah kayu bertingkat itu, saya langsung melihat Mba Martha sedang berbincang bersama Juli, empunya toko Buku dan Penerbit independen di Denpasar bernama, Partikular. Tempat dimana diskusi akan dilangsungkan.
Hari itu, kami akan berdiskusi mengenai karya-karya terjemahan dari Martha Susilowati. Atau Mba Martha.
Saya menghampiri mereka yang masih di dalam sebuah ruangan kecil, tempat etalase buku-buku dipajang di Partikular. Saya menyapa mereka berdua. Juli mengenalkan saya kepada Mba Martha.
Tak sabar, saya langsung mengoceh mengenai buku terbaik yang saya baca tahun 2021 lalu, yaitu, Tempat Terbaik di Dunia.
“Gimana, nangis Nggak?” respon Mba Martha.
Kami kemudian duduk.
Harusnya saya menjawab, “Iya, saya nangiss mba!”
Namun, saya menjawab dengan tolol nan sotoy, “habis baca malah pengen jadi Antropolog, mba.” sambil menambahkan aksen tertawa di belakang kalimat.
Kemudian, kami melanjutkan perbincangan.
Saat diskusi itu berlangsung, pada tanggal 2 Juni 2024, saya baru membaca Tempat Terbaik di Dunia. Dua buku lain yang Mbak Martha terjemahkan belum saya baca.
Namun, saya punya banyak sekali pertanyaan mengenai buku ini. Kapan-kapan aku akan menulis tentang buku Tempat terbaik di Dunia secara lebih rinci (curhat lebih banyak kenapa buku itu seru banget, astaganaga.)
Diskusi yang difasilitasi Partikular kali ini rencananya akan lebih banyak membahas proses di balik karya terjemahan atau bagamana penerjemahan dilakukan.
Mba Martha sendiri telah menerbitkan tiga buku terjemahan. (belum cek di tempat lain). Ketiga buku tersebut diterbitkan oleh Marjin kiri. Buku-buku tersebut adalah, Tempat Terbaik di Dunia, Lebih Putih Dariku, dan Winarta (saya telah selesai membaca Winarta ketika catatan ini dibuat.)
Belum dibuka secara resmi, saya sudah mulai bertanya-tanya mengenai buku Tempat Terbaik di Dunia. Semakin sore, nanti kami juga akan bertanya lebih banyak lagi. Soal kehidupan di Belanda, kegiatan sehari-hari Mbak Martha, pun soal-soal berat seperti perbedaan tingkat literasi di Belanda dan Indonesia.
“Jadi, bagaimana bisa menerjemahkan buku, Tempat Terbaik di Dunia?” tanya saya tak sabar ketika kami duduk mulai agak nyaman.
“Awalnya saya membaca resensi buku ini di koran, dan saya rasa ini menarik sekali, dan harus dibaca oleh orang-orang di Indonesia,” jawab Mba Martha dengan aksen setengah bule. Pas menulis ini saya bahkan masih mengingat suara dan bagaimana Mba Martha menjelaskannya.
Setelah itu, dia bercerita mengenai bagaimana dia mengirimkan email ke Roanne van Voorst, sang penulis buku, dan bagaimana dia harus meyakinkan Roanne agar dia dibolehkan menerjemahkan buku ini ke dalam Bahasa Indonesia.
Serangkaian proses dia jalani. Pada akhirnya, Roanne setuju untuk buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mbak Martha.
Masalah selanjutnya, kata Mba Martha, dia kekurangan dana untuk proses menerjemahkan dan menerbitakn buku ini. Namun, dengan bantuan sana-sini, bahkan dibantu oleh Roanne sendiri, proses penerjemahannya bisa rampung.
“Awalnya, bukan di Marjin Kiri,” jawab Mba Martha kala kami bertanya kenapa memilih menerbitkan buku Tempat Terbaik di Dunia di Marjin Kiri.
Dia kembali menjelaskan bahwa, awalnya dia berkontak dengan salah satu penerbit lain. Namun, satu dan lain hal, hal ini tidak terjadi.
Dia kemudian berkontak dengan pihak Marjin Kiri, dan Marjin Kiri Bersedia menerbitkannya.
“Tapi kenapa sih, pengen banget nerbitin buku ini Mba?” tanya saya makin penasaran.
“Saya pikir, buku ini harus dibaca oleh orang Indonesia. Ini buku yang penting. Dan buku ini saya pikir dekat dengan saya, dan saya tidak ingin menerjemahkan buku ini jika saya tidak menykai isinya,” jelas Mbak Martha.
Secara tidak langsung, Mbak Martha mengatakan bahwa dia mencintai apa yang dia lakukan (yaitu menerjemahkan buku Tempat Terbaik di Dunia). Dan, hal-hal seperti ini memang tidak lain memang harus lahir dari cinta.
Sejak sebelum Orde Baru tumbang, Mba Martha telah pindah ke Belanda, penjelasanya seperti ini karena saya tidak ingat persis tahun berapa, yang saya ingat ya sebelum Orde Baru tumbang. Dia mengambil studi kepustakaan dan bekerja belasan tahun menjadi pustakawan di perpustakaan di Belanda.
Di Belanda, dia tinggal di Kota bernama Anaheim. Agaknya, pekerjaannya sebagai pustakawan membuat dia dekat dengan buku dan sastra.
Dia sendiri mengaku, bukan penerjemah professional. Ketika menerjemahkan Tempat Terbaik di Dunia, dia melakukannya hanya berdasarkan kemauannya agar karya tersebut bisa dibaca lebih luas di kalangan pembaca Indonesia. (Saya sepertinya juga harus mengulas betapa bagusnya buku Tempat Terbaik di Dunia, bukan hanya soal isi, namun juga sisi terjemahannya.)
Sekira dua jam kami melakukan perbincangan, Kami bertanya, banyak hal lainnya. Waktu itu, ada sekitar 5 orang yang datang pada sesi diskusi tersebut. Kami bertanya banyak hal, jika tidak berlebihan bahkan seperti mengintrogasi :).
Diskusi dimulai sekitar pukul 17.00, dan menjelang pukul 18.40, diskusi sejatinya semakin seru. Namun, Mba Martha tentu tak bisa berlama-lama. Kami mafhum.
Malam yang menyenangkan sekali, dan masih ada beberapa hal yang belum sempat saya ceritakan di tulisan ini.
Saya meminta berfoto bersama Mbak Martha, saya berpamitan dan mendoakan mba Martha yang baik-baik.
“Mau ikut?” teriak seorang pemuda ke arah saya, di atas kebisingan deru mesin bus kota yang saya tumpangi. “Ke tempat terbaik di Indonesia. O tidak, ke tempat terbaik di dunia! Apa saja yang ingin kamu lakukan, bisa di sana, dan apa saja yang ingin kamu punya, ada di sana.” — Petikan buku Tempat Terbaik di Dunia
Ps: Waktu itu, dia sebenarnya, juga membahas mengenai Winarta, dan Lebih Putih dariku, dan cerita-cerita lainnya.