Alarm harian membangunkanku tepat pukul 07.15. Dan hingga alarm kedua, pukul 07.35 aku masih belum beranjak dari tempat tidur. Aku tahu, kemarin adalah hari terakhir aku bekerja. Jadi hari ini aku bisa tidur lebih lama.
Sebenarnya, aku tak ingin melakukan apa-apa hari ini. Namun, aku harus keluar dan menulis sesuatu untuk akun medium yang telah lama aku tinggali. Kemarin, ketika acara perpisahan di kantor, aku tak banyak berkata-kata ketika diminta kesan-pesan. Aku rasa, aku lebih nyaman untuk mengatakannya lewat tulisan.
07.55 alarm terakhir penanda aku harus berangkat ke kantor aku matikan. Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Rencananya, aku akan ke kantor balebengong untuk numpang duduk dan bekerja. Meski telah tidak bekerja secara formal, aku masih harus mengerjakan tugas untuk organisasiku.
Sekitar pukul 8.40 aku telah selesai mandi dan bersiap-siap. Aku menghubungi seorang teman penunggu balebengong bahwa aku akan segera meluncur ke sana. Dia mengabari bahwa, belum ada orang di kantornya. Dia mengabarkan bahwa dia dan penunggu lainnya baru akan ke kantor sekitar pukul 12.00. Aku pun membalasnya dan berkabar akan datang setelah jam tersebut.
Aku kembali tidur tanpa melepas sepatu.
Aku hampir melewatkan sholat Jumat dan baru bisa bangun pukul 12.48. Aku mencuci muka dan langsung buru-buru ke Masjid. Setelahnya, aku pun berangkat ke balebengong untuk menumpang kerja.
Di balebengong, aku juga sebenarnya ingin memulai untuk menulis. Namun, obrolan dengan para penunggu terlalu seru, jadi aku hanya nimbrung bahasan mereka dan mengerjakan hal-hal kecil lain yang masih bisa aku kerjakan.
Sepulang dari Balebengong, aku ke Rumah Momo, sebuah tempat untuk akhirnya bisa benar-benar menulis tentang tahun 2023, teman-teman, dan memori-memori tentangnya.
Sebelum menulis ini, aku tadi mengirimkan pesan perpisahan di beberapa grup kantor untuk meminta izin keluar dari grup dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Meski sudah mantap untuk pergi, ternyata tetap ada perasaan yang janggal ketika mengirim pesan perpisahan tersebut. Perpisahan memang sering kali tidak mengenakkan. Perasaan ini juga saya rasakan ketika dulu keluar dari perusahaan media tempat saya bekerja dulu.
Namun, kali bebeda, Peony, (bukan nama sebenarnya, sang karakter sebenarnya memintaku untuk menuliskan namanya dengan nama ini, jadi mari turuti saja) meneruskan pesan ini ke grup lalu menulis pesan “sedih” dengan emoticon :( sebanyak lima biji. Setelah itu, Arya, teman yang duduk persis di sampingku juga memberi pernyataan yang sama ditambah kata, “bangetzzz.”
Aku sendiri tak begitu pandai mengungkapkan emosi, baik itu rasa sedih atau bahagia. Namun, melihat dan merasakan emosi Arya dan Peony membuatku sedikit merasa terharu.
Untuk itu, mari bercerita tentang bagaimana, orang-orang tadi menjadi bagian penting yang membuatku bertahan di kantor tempatku bekerja selama hampir satu tahun kemarin.
Arya, kalau tidak salah ingat masuk ketika aku telah bekerja tiga bulan lebih awal. Kemarin ketika perpisahan, seorang teman bertanya, “Apakah kamu mengingat impresi pertama saat bertemu, Arya?”
Aku berpikir sejenak. Lalu berkata jujur bahwa aku tidak ingat. Aku menyengir untuk menutupi kebuntuanku. Aku kemudian menjawab dan coba mengelak dengan mengatakan, “But I remembered, that it was shitter before you.”
Aku tak akan menyangkal bahwa, setelah dia masuk, aku punya teman diskusi, atau teman yang aku paksa diskusi. Diskusi untuk hal-hal remeh yang lewat di kepala. Atau bertanya untuk hal-hal random yang melintas.
Dan, sepertinya aku harus menceritakan ini juga. Aku rasa aku sedikit kesulitan berbaur di tempat baru. Aku tak ingin menjadi sok asik, dan masuk ke kolam yang belum aku tahu. Aku tak ingin membuat orang lain tak nyaman. Atau membuat diri sendiri tak nyaman. Terbiasa melakukan hal-hal sendiri, aku jadinya tak ingin memaksakan hal-hal yang akan menyusahkan diri atau orang lain.
Aku jadi ingat, suatu waktu ibuku bercerita bagaimana aku sering melakukan hal-hal dengan caraku sendiri. Musim layangan misalnya, ketika orang-orang mendapatkan layangan hasil buatan paman atau ayahnya, aku biasa membuatnya sendiri. Meskipun bentuknya buruk dan kadang tak bisa terbang, aku bangga, bisa membuat layanganku sendiri.
Alhasil, aku sering berprinsip, jika aku bisa melakukannya sendiri, aku akan melakukannya sendiri. Namun ya, mempunyai teman selalu menyenangkan juga. Dan inilah peran Arya selama tujuh bulan terakhir. Menjadi rekan kerja yang santai dan menjadi seorang teman.
Dia akan berinteraksi dan berbicara dengan siapa saja. Arya orang yang supel. Dia akan menyapa dan memberi ruang orang lain untuk mengenal dirinya. Dia punya banyak energi untuk mempelajari orang lain. Jadinya, dia mempunyai banyak teman di kantor, aku salah satunya.
Arya akan senang membantu orang lain. Aku tak tahu dia dapat tenaga sebanyak itu dari mana. Namun, Arya adalah orang yang akan kamu inginkan dalam sebuah grup atau tim karena dia akan banyak berguna.
Cerita bagaimana dia bertahan di hari-hari pertama tinggal di Bali menjadikanku simpati terhadapnya. Dia pekerja keras. Aku rasa, hal-hal baik memang harus diperjuangkan. Dan inilah yang dia lakukan.
Aku ingat, wallpaper hp nya adalah gambar keluarganya. Lengkap. Dengan Ibu, ayah, saudara dan seorang nenek. Aku pikir dia mempunyai keluarga yang hangat. Dan itulah emosi yang ditularkan kepada orang-orang di sekelilingnya.
Selain Arya, ada Peony. Peony datang dan di bulan Juni atau Juli. Awalnya aku tak tahu, dia akan masuk ke divisi tempatku bekerja. Aku mendengar dia direkrut untuk pekerjaan yang lain. Selain itu, Arya juga telah cukup sebagai teman diskusi masalah kerjaan. Namun, hingga hari terakhir bekerja kemarin, Peony akan selalu jadi teman kerja yang menyenangkan. Atau teman yang menyenangkan.
Setelah terlambat dua kali gara-gara jalanan macet, dia selalu datang lebih pagi dariku. Pukul 8.35 ketika aku sampai, dia pasti akan terlihat duduk di mejanya. Menonton film atau membalas pesan-pesan.
Karena duduk di satu deretan, Peony juga selalu aku ganggu. Sering, aku akan bertanya hal-hal yang aneh. Suatu waktu, Kami, (aku Arya dan Peony) berdiskusi tentang kematian dan bagaimana hidup bisa begitu singkat dan harusnya diisi dengan hal-hal yang lebih berguna.
Peony selalu membawa perlengkapan yang banyak. Di tas pink yang menurutku cukup besar, dia sepertinya membawa isi rumahnya. Dia sering meminjami sisir untuk teman-teman yang belum menyisir rambutnya dari rumah.
Akan tetapi, aku tahu, tasnya juga berisi hal-hal yang penting. Aku memperhatikan, dia selalu membawa snack atau buah-buahan potong yang ditaruh rapi dalam kotak makanan. Dia bercerita, dia memiliki riwayat penyakit maag yang membuat dirinya harus makan untuk membuat perutnya tak kosong.
Selain itu, sebagai manusia yang hanya bisa membawa sesuatu ala kadarnya, aku beberapa kali minta obat-obatan kepada Peony. Segala macam obat, seperti obat Maag, paracetamol, obat flu, dan beberapa obat lain. Rasanya beruntung sekali mempunyai teman seperti Peony.
Aku menyukai bagaimana Peony berbicara dengan orang lain. Peony merupakan pendengar yang baik. Dia tidak hanya mendengar. Dia menyimak apa yang orang katakan. Alhasil, dia membuat orang lain merasa diperhatikan dan, didengar. Tak heran, dia juga bisa berteman dengan siapa saja sepertinya.
Akan tetapi, yang paling membuatku merasa akrab dengannya adalah, dia pembaca yang ulung. Di tengah pekerjaan yang kadang membosankan, aku sering membagi tulisan-tulisan menarik yang aku temukan di internet lalu mendiskusikannya.
Situs yang menjadi favorit tentu, Vice, feature-feature nyelenehnya menjadi tempat yang tepat untuk menghabiskan waktu sore sebelum pulang kerja. Selain itu, blog-blog mbak Windy Ariestanty juga menjadi dongeng-dongeng yang selalu kami suka. Aku teringat, bagaimana dia pernah menangis gara-gara membaca salah satu tulisan Mbak Windy.
Dia juga pembaca buku. Setidaknya, begitulah yang aku tangkap dari cerita-ceritanya. Peony, membaca cerita-cerita yang seru. Jujur saja, aku senang sekali ketika mengetahui teman dan rekan kerjaku seorang pembaca buku.
Di suatu waktu, aku bahkan pada tahap bisa bercerita hal yang jarang aku ceritakan ke orang lain, misalnya tentang dunia perkencanan. Cukup lega ketika cerita itu aku utarakan. Dia memberi petuah santai dan menyuruhku untuk tidak larut.
Aku juga suka mendengarnya bercerita. Dia selalu bercerita penuh semangat. Suaranya besar, seakan semua orang harus mendengar ceritanya dengan jelas. Cerita-ceritanya selalu menyenangkan. Cerita soal keluarga, pertemanan, dan pengalaman-pengalaman memberi perspektif baru.
Namun, aku akan selalu ingat ketika dia memuji tulisanku. Sejak saat itu, aku rasa dia aku masukkan dalam daftar teman baikku. Meskipun jika dia menganggapku sebatas rekan kerja, dia akan tetap jadi teman baikku. Atau bahkan jika dia tak mau berteman denganku, dia tetap bisa jadi teman baikku.
“Do you think I can put this glass on my head and work?” seregahku di tengah jam kerja di suatu siang.
“No!!! Put it down!” cegahnya dengan nada sedikit mengancam.
Benar aku memang tak akan bisa meletakkan gelas di atas kepalaku sambil bekerja. Aku hanya ingin meredakan suasana kerja yang mulai terlalu kaku. Momen-momen inilah yang akan selalu aku kenang agaknya.
Selain itu, ada juga cerita ketika aku menjatuhkan gelas yang berisi air yang meluber ke mejanya. Waktu itu aku merasa tak enak sekali. Huhuhu. Di lain waktu, aku sering diminta untuk tidak mengunggakanakn gelas plastik untuk gelas minum. Peony dan Arya mengingatkan kalau suatu waktu gelasnya akan aku senggol dan menjatuhkan airnya. Hal itu pun terjadi, tiga kali. Bukan, empat kali. Ahaha. Aku berhenti setelahnya.
Aku masih bisa bercerita banyak tentang Peony, ada banyak percakapan-percakapan yang menyenangkan. Peony menjadi teman yang membuat tempat bekerja kemarin menjadi paling tidak, tidak membosankan. Aku akan selalu mensyukuri hal ini.
Akan tetapi, sebulan terakhir, dia dipindah ke divisi lain, dan ini membuatku merasa sedikit tak nyaman. Tak ada lagi teman di sebelah yang bisa diganggu dan diajak ngobrol hal-hal aneh yang melintas di kepala.
Pindah tempat kerja memang hal yang seharusnya biasa saja. Tak ada yang terlalu spesial memang. Kepindahan adalah keniscayaan. Pindah bisa juga berarti memberi ruang untuk tumbuh.
Dan kepindahan ini, tak akan terjadi tanpa bantuan seorang teman. Namanya Mentari. Dia masuk satu bulan lebih awal dari waktu ketika aku masuk kantor tempat kami bekerja. Kami tak banyak mengobrol sebenarnya, namun suatu waktu kami sempat bertemu di suatu tempat bersama beberapa kawan dan ternyata dia mempunyai unek-unek yang sama denganku. Kami berteman. Atau, aku mengklaim berteman dengannya.
Mentari juga punya cerita-cerita yang seru. Dia pernah tinggal di Paris, Prancis. Gaya berpikirnya, bisa disebut, memang, ala-ala bule. Dia bercerita bahwa dirinya sangat senang tinggal di negaranya Napoleon tersebut. Dia masih terhubung dengan beberapa teman yang dia punya.
Suatu waktu, Mentari juga mengajakku menonton acara standup comedy di Canggu. Malam yang menyenangkan. Dia membawa teman unik dari Belanda yang kebanyakan dicekoki musik koplo. Namun kami mengobrol cukup seru malam itu.
Paling penting, sepertinya aku berhutang budi kepadanya. Aku menganggap Mentari itu seperti Jesus. Sang messiah. Juru selamat. Dia menyelamatkanku dari kebosanan yang menyerang beberapa bulan terakhir. Dia memberiku cahaya diujung terowongan yang hampir satu tahun terakhir tak aku temukan.
Dan selamanya, aku akan selalu mensyukuri hal ini.
Sisanya, ada beberapa teman lain yang juga memberiku energi yang sama untuk terus bertahan. Aku bekerja dengan Day,ketika awal-awal aku masuk. Sepertiku, dia juga tak banyak berbicara. Namun, jika menemukan lawan bicara yang dia anggap nyaman, dia akan berbicara banyak hal dan mengeluarkan isi-isi kepalanya.
***
Aku tidak akan mengatakan tahun 2023 sebagai tahun kegagalan. Rasanya terlalu pongah untuk mengatakan hal ini. Banyak hal baik terjadi di tahun lalu. Dan aku rasa, kadang memang hal baik tersebut bisa saja tidak terjadi kepada dirimu, tapi bisa terjadi kepada orang-orang sekitarmu.
Tentu, yang paling aku syukuri dari tahun lalu adalah ketika saudaraku mendapatkan kesempatan kuliah ke luar negeri dengan beasiswa. Aku rasa hal ini cukup membanggakan. Atau, setidaknya, ayah dan ibuku bangga untuk hal ini.
Aku juga keluar dari hubungan yang sepertinya memang tak bisa dipertahankan. Cukup sedih karena ada rasa kehilangan. Tapi ya, aku pikir ini jalan terbaik. Selain itu, rencana-rencana yang aku inginkan selama tahun 2023 ada beberapa yang tidak tercapai. Puluhan wawancara kerja yang gagal, dan beberapa hal-hal buruk yang bahkan tak pantas diceritakan.
Aku pikir, aku belajar dengan cara yang paling keras. Aku harap aku bisa menjadi lebih baik di tahun ini dan tahun-tahun mendatang.
Rencana tahun 2024? Aku selalu bingung untuk menjawab pertanyaan ini. Karena, lebih sering, aku tak berencana apa-apa dan membiarkan hal-hal terjadi begitu saja. Aku juga tak ingin banyak berencana dan kecewa terhadapnya.
Hidup telah seperempat abad, aku masih kebingungan akan hal ini rasanya juga aneh. Aku seharusnya tahu apa yang aku inginkan. Awal tahun ini juga seorang teman keluar dari zona nyamannya dan pergi melakukan hal-hal yang tak biasa. Seorang teman lain mendapatkan skor IELTS yang baik dan bersiap mengirimkan aplikasi kuliah S2 di luar negeri.
Sementara aku? sepertinya akan masih di sini. Jujur saja, kadang ada perasaan bosan juga. Namun mencoba menutupi kebosanan ini denan banyak menghabiskan waktu di ruang-ruang teater bioskop atau makanan-makanan baru.
Sebenarnya juga, aku tak ingin seperti ini. Aku rasa, sudah seharusny aku melakukan hal lain dan keluar dari pakem-pakem lama. Berjuang untuk sesuatu yang layak diperjuangkan. Bukan untuk kampanye, kemarin Anies Baswedan memberi petuah yang menurutku bagus sekali. Dia mengatakan, “I am not afraid if you fail to achieve what you plan, but I am afraid you succeeded to achieve but what you plan is too low.”
…Dan dengarkan, ombak yang datang, menerjang kuatmu. Dan dengarkan arus yang datang, nyatakan lemahmu. Langit dan laut, dan hal-hal yang tak kita bicarakan… — Banda Neira