Cerita-Cerita jakarta: Sudut Lain Sang Ibu Kota

Nightman
7 min readJul 9, 2022

--

Jakarta itu ibarat mercusuar besar yang sudah tua dan jika dipindahkan sayang, namun jika ia tetap di sana, dia akan menutupi hal-hal indah lain di belakangnya.

Mengenal jakarta tentu pertama kali lewat televisi. Saking seringnya tayangan mengenai jakarta ditayangkan di televisi, orang-orang di daerah jadi tahu luar dalam kota itu seperti apa. Meminjam gurauan ironis Felix Nesi, “Orang jakarta buang air, kita di NTT (red; orang-orang daerah) tahu”.

Menyedihkan bukan? Namun kenyataannya memang demikian.

Namun hal-hal umum seperti banjir, kriminalitas, kemiskinan, kesejangan jadi sajian TV nasional yang pada akhirnya menggambarkan apa itu jakarta. Media Jakarta yang berdalih sedang menyiarkan program Nasional dengan meminjam jaringan publik, seringya menyiarkan hanya mengenai jakarta.

Tapi, tumbuh dan besar, saya bisa menyaksikan jakarta dari sudut pandang dan platform-platform berbeda.

Musik

Ada beberapa lagu yang menyematkan jakarta dalam liriknya. Bahkan lagu-lagu tersebut dinyanyikan musisi-musisi terkenal. Misalnya Glenn Fredly yang mempunyai lagu berjudul “Lagu jakarta”, atau Slank dengan “jakarta pagi ini”. Selain itu, ada nama Kunto Aji dan Sheila on Seven yang dari Yogyakarta pun punya lagu berjudul jakarta. Namun, penulis berkenalan dengan jakarta yang lain melalui lagu “Cerita dari selatan jakarta” nya White Shoes & The Couples Company. Tidak berniat sok edgy, karena saya saja baru tahu lagu ini 2018 lalu. Delapan tahun setelah lagu ini rilis untuk pertama kali pada tahun 2010.

“Ijikan hamba menutur sebuah cerita, yang terpenggal di selatan jakarta” lantun Aprilia Hapsari (Vokalis White Shoes & The Couples Company).

Tidak ada lirik khusus yang menggambarkan jakarta di sini, karena pada bait terakhir, band ini juga masih bertanya ini lagu tentang apa. (penafsiran ngawur nan sembarangan wkwkwkwk). Lanjut..

Lagu kedua tentang jakarta yang saya suka adalah “Senja di jakarta” nya Banda Neira. Suara khas Ananda Badudu yang sedang menggambarkan jakarta di sini asik. Susah untuk tidak larut menikmati jakarta dalam lagu ini.

Bersepeda sepulang kerja
Kenyang hirup asap Kopaja
Klakson kanan kiri berbalasan uwo oh
Senja di Jakarta

Bukan?

Satu bait di atas ini saja saya sudah bisa membayangkan jakarta. Kopaja-kopaja tua yang mengeluarkan asap yang mau tak mau dihirup oleh sang pesepeda. Bunyi klakson yang menandakan kemacetan juga begitu jelas menggambarkan sang ibukota.

Namun, lagu-lagu di atas tidak bisa menyaingi lagu daerah “Ondel- ondel”. Lagu ini akan selalu menjadi lagu tentang jakarta yang paling melekat. Setelah sering membaca ensiklopedi budaya nusantara di sekolah dasar dan menemukan bahwa Jakarta punya suku yang namanya “Betawi” dan mempunyai lagu daerah berjudul ondel-ondel. Lagu ini akan selalu menjadi perkenalan yang menyenangkan.

“Nyok kita nonton ondel-ondel nyok….”

Film

Ahh saya akan skip bagian ini. Karena lagi malas mengingat film-film apa saja yang ada di kepala ketika menggambarkan jakarta. Tayangan visual tentang jakarta terlalu banyak dipenuhi oleh sinetron-sinetron tv swasta yang saya yakin tidak jujur menggambarkan kota yang beberapa kali berganti nama ini. “Kala” nya Joko Anwar bisa menjadi gambaran yang menarik tentang jakarta, namun film ini bahkan tidak menyebut settingnya di jakarta, meskipun pengambilan gambarnya sepertinya dilakukan di jakarta. Oh atau mungkin, “AADC” nya Ruddy Soedjarwo mungkin bisa jadi dekat, setidaknya gambaran mengenai anak sekolahan jakarta bisa jadi seperti itu. Entahlah.

Benar. Sebaiknya bahasan mengenai perkenalan jakarta melalui media film/video dibahas lain kali saja.

Buku/Novel

Di daftar pertama seharusnya “Senja di jakarta” nya Mochtar Lubis. Biar nyambung dengan lagu Banda Neira yang saya sebutkan tadi. Namun sayang, novel itu belum sempat saya baca dan baru nangkring di keranjang aplikasi marketplace di handphone saya. Jadi skip.

Ada banyak novel yang bercerita tentang jakarta. Jika kalian melakukan pencarian di google, di halaman pertama, setidaknya akan muncul 30 judul buku yang bercerita tentang jakarta. Baik itu berjudul langsung jakarta atau berlatar jakarta. Kebanyakan belum saya baca dan saya baru tahu bukunya. Sebagian lagi saya tahu bukunya, namun belum sempat saya baca. Sebut saja, “jakarta undercover” nya Moammar Emka atau ya, “Senja di jakarta”nya Mochtar Lubis. Dan dua tiga lainnya, telah saya baca. Salah satunya adalah “jakarta sebelum pagi” nya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Saya juga telah mengulas sedikit mengenai Novel tersebut. Lihat di sini saja.

Tambahan, saya juga membaca “Tempat terbaik di Dunia” nya Roanne van Voorst. Seorang antropolog yang tinggal dan mengisahkan pengalamannya tinggal bersama orang-orang terbaik dan di tempat terbaik di dunia (di jakarta). Lain kali saya akan memberikan ulasan lebih panjang.

Baiklah. Terbaru saya membaca jakarta melalui antologi cerpen: Cerita-Cerita Jakarta terbitan Post Press.

Inilah alasan sebenarnya saya menulis tulisan ini. Untuk mengulas antologi cerpen yang bercerita tentang jakarta. Jika tadi ada yang skip langsung ke bagian ini, selamat! Waktu anda tidak terbuang sia-sia. Huhuhu.

Jadi, cerita-cerita jakarta ini ditulis oleh sepuluh orang cerpenis atau sebut saja demikian. sepuluh cerita yang menggambarkan bagaimana jakarta dari sudut pandang mereka. sepuluh sudut pandang tentu tidak bisa menggambarkan mengenai jakarta secara utuh. Di kata pengantar, penyunting buku ini juga telah mengatakan hal yang sama. Namun, pembelaannya, masing-masing sepuluh orang ini masih menganggap kota jakarta sebagai rumah mereka. (diberi tahu sang penyunting juga ehehe). Tapi bukankah itu sudah cukup untuk menjadi jaminan sepuluh cerita yang akan disampaikan akan dengan jujur menampilkan jakarta? Saya rasa sih, iya.

10 penulis tersebut adalah, Ratri Ninditya, Hanna Francisca, Sabda Armandio, Utiuts, Dewi Kharisma Michellia, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (tentu nama mba Ziggy saya copas ehehe), Ben Sohib, Cyntha Hariadi, Afrizal Malna, Yusi Avianto Pareanom, serta dua editor, Maesy Ang dan Teddy W. Kusuma. Dari sepuluh nama tersebut, (lagi-lagi) lebih banyak yang tidak saya tahu. Ziggy dan Sabda Armandio saya tahu lebih dulu di twiiter dan setelahnya saya membaca karya-karya mereka. Dan dari 10 orang tersebut saya belum pernah bertemu secara langsung kecuali Yusi Avianto Pareanom.

Saya bertemu mas Yusi ketika saya menjadi volunteer di acara sastra di Ubud. Namun, waktu itu, saya terlalu bodoh dan berkenalan dengan cara yang amat buruk.

“Saya harun mas,” ujar saya menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan mas Yusi.

“Saya Yusi,” ujar mas Yusi menjabat tangan saya.

“Ohh saya tahu mas Yusi, saya ngikutin mas di twiiter” ujar saya mencoba mencairkan suasana sembari menunggu mobil jemputannya.

“Ohh saya tidak main twiiter, yusi lain kali itu,” ujarnya dengan nada yang tidak saya ingat.

Saya diam dan merasa bodoh saja hingga mobil jemputannya tiba.

Pembelaan: Saya memang mengikuti mas Yusi namun di media sosial yang lain. Percakapan itu juga ada tambahan ketika dia mengatakan bahwa dia hanya aktif di media sosial yang bukan twitter.

Kembali mengenai cerita-cerita jakarta. Kalo tidak salah ingat setelah ikut dalam acara bedah bukunya. Antologi ini lahir dari proyek cerita-cerita mengenai kota-kota di dunia. Kalo tidak salah, yang memulainya adalah penerbit dari Manchester yaitu, Comma Press. Di proyek tersebut antologi ini berjudul “The Book of jakarta”.

https://twitter.com/commapress/status/1413069094232813571

Langsung saja ahh.

Yang membuat buku ini menarik tentu penulisnya mempunyai kisah-kisah tersendiri mengenai kota yang mereka anggap rumah ini. Semua cerita punya magisnya.

Yang paling melekat di kepala saya adalah, “Aroma Terasi” yang ditulis Hanna Fransisca. Cerita ini bertema busuknya birokrasi di negeri yang membuat akronim untuk semua hal. Dan saya tidak menyangka terasi akan menjadi hal penting penyelesaian cerita ini. Saya masih tertawa sendiri kadang-kadang.

Anak-anak Dewasa yang ditulis Ziggy juga ajaib. Ziggy selalu punya kejutan dalam setiap cerita-ceritanya.

Ben Sohib menulis cerita berjudul Haji Syiah. Dan saya rasa cerita ini merupakan menggambarkan jakarta dari sisi yang jarang ditampilakn media kecuali ketika air-air sungai meluap dan memenuhi kamar-kamar mereka. Namun orang-orang jakarta di cerpen ini sepertinya telah pindah ke Depok atau Bekasi, atau kota-kota pinggiran jakarta lainnya. Cerita ini pun nanti dikisahkan oleh Yusi Avianto Pareanom dalam buku ini dengan cerita pendek yang berjudul “Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta.

https://twitter.com/post_santa/status/1380440450780196865

Seperti yang saya katakan sebelumnya, cerpen-cerpen dalam buku ini punya daya magnetnya masing-masing untuk dibaca berlama-lama. Dan yang menyenangkan, sepuluh cerita dalam antologi ini bukan cerita tentang orang-orang yang mengambil keputusan dari gedung-gedung tinggi di ibukota.

Saya pernah ke Jakarta. Sekali. Waktu itu untuk mengurus sesuatu yang mengaruskan datang ke jakarta. Dan saya di sana tidak sampai seminggu. Yang saya rasakan selama sepekan di ibu kota negara tersebut adalah saya tidak nyaman. Macet. Sibuk. Bangunan-bangunan yang tidak tertata. Sungai coklat (di kampungku atau di kota tempat saya tinggal sekarang sungai juga coklat, tapi di jakarta terasa lebih menyebalkan) dan banyak hal-hal lain yang tidak saya suka lainnya yang terlalu tendensius untuk dibagi.

Namun saya menyadari, seminggu bukan waktu yang cukup untuk bisa beradaptasi dengan jakarta. Kembali teringat dengan kata-kata sang editor di kata-kata editor di kata pengantar, “jakarta adalah kota yang akan membuatmu jatuh cinta dan berkali-kali patah hati” (kutipannya tidak seperti ini namun maknanya tidak jauh)

Saya rasa, ketika saya ke jakarta saya memang baru mengalami fase sakit hatinya saja. Dan membaca antologi cerpen ini membuat sedikit menykai jakarta.

Untuk mengakhiri tulisan ini saya ingin bertanya, semeton Bale Bengong, apakah kota kalian sekarang sudah kalian anggap sebagai rumah? Atau kalian mempunyai kota lain yang lebih nyaman untuk kalian sebut rumah? sila berbagi.

--

--

Nightman
Nightman

Written by Nightman

Pencatat hal-hal kecil yang terlewat, mengaku sebagai penyuka buku, musik, film, dan jalan-jalan di jam tiga dini hari.

No responses yet