Saya ingat sekali, memori tentang sepakbola pertama yang bisa saya ingat. Memori tersebut adalah pertandingan final piala dunia 2006. Saya belum masuk Sekolah Dasar. Saya meminta ibu untuk membangunkan di waktu dini hari agar saya bisa menonton gelaran akbar tersebut.
Saya ingat, saya bangun terlambat. Saya baru mulai menyaksikan pertandingan ketika memasuki waktu ekstra time. Zidane telah menanduk Marco Materazzi, dan mendapatkan kartu merah. Namun saya masih ingat, ada beberapa pemain yang familiar di layar seperti Buffon, Gattuso, Tuhram, Henry, dan nama-nama lain.
Dalam babak adu pinalti, Italia keluar sebagai juara. Juara untuk keempat kali.
Setelah memori itu, ingatan saya tentang sepakbola menjadi samar-samar. Sepertinya, saya kembali menjadi bocah 6 tahun yang belum mengerti apa-apa. Namun, sepakbola tetap menjadi keseharian. Karena semua anak kampung bermain bola dan tidak ada permainan semenyenangkan ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sepakbola menjadi permainan dan hobi jutaan orang di Indonesia. Gampang dimainkan dengan aturan sederhana. Tidak memerlukan peralatan khusus. Cukup sebuah bola dan 10 orang, permainan ini sejatinya sudah bisa dimainkan. Sangat sederhana.
Mengenal Sepakbola Indonesia
Saya rasa saya lebih dulu mengenal sepakbola Indonesia daripada sepakbola luar yang jauh lebih baik kualitasnya. Tentu saya tahu satu dua klub yang sedang ngetren saat itu. Sebut saja Inter Milan, AC Milan atau AS Roma dan klub-klub lain. Namun Klub sepakbola yang saya bicarakan pertama kali adalah klub sepak bola Indoneisa. Saya bersama teman-teman sekolah dasar akan berdiskusi sengit soal hal ini.
Buku “Sepakbola: The Indonesian Way of Life” Ini rasanya membangkitkan memori-memori lama tersebut.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan karya Anthony Sutton, penggemar dan fanatik sepakbola asal Inggris yang telah lama bermukim di Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Tulisan ini sendiri berasal dari blog pribadinya yaitu, http://jakartacasual.blogspot.com/.
Catatan-catatan inilah yang kemudian dibukukan dan oleh Penerbit Kawos Publishing dengan penerjemah Andibachtiar Yusuf, seorang filmmaker asal Indonesia. Buku ini merupakan gerbang untuk memahami sepakbola Indonesia yang karut marut.
Saya kurang tahu jika ada yang pernah menulis mengenai sepakbola Indonesia dengan sudut pandang seperti Jakarta Casual, nama beken Anthony Sutton di dunia maya. Buku ini rasanya tidak mempunyai jarak tentang apa-apa yang memang benar-benar terjadi di permainan favorit orang indonesia ini. Tentu badminton adalah olahraga yang digemari banyak orang, namun sepakbola rasanya telah mengalir di nadi setiap orang Indonesia, jika tidak terlalu berlebihan.
Yang menarik dari buku ini adalah bagaimana buku ini tidak bercerita mengenai permainan sepakbola secara khusus. Karena, ya, permainan sepak bolanya di Indonesia kadang, dan lebih sering bisa dikatakan tidak menghibur.
Lebih dari itu, buku ini mengulas bagaimana sepakbola mempengaruhi manusia. Membuat jatuh cinta. Meriakkan emosi. Merangsang marah. Menghasilkan sedih. Membuat bahagia. Membuat manusia bisa berpindah dari tempat yang jauh untuk merasakan emosi-emosi tadi.
Buku ini menilik lebih jauh mengenai cerita-cerita bagaimana sebuah permainan bernama sepakbola berdampak bisa jadi sangat besar pada kehidupan seorang manusia.
Saya mengingat, di buku ini ada cerita seorang suporter yang merasa dirinya spesial ketika sudah memasuki stadion dan menjadi pemandu sorak. Bagaimana tidak, seseorang bisa mempengaruhi ribuan orang untuk bernyanyi bersama dan mendukung tim kesayangan. Hal tersebut menjadi sangat spesial tentunya.
Di kampung tempat saya berasal, tidak ada tim sepakbola yang melaju hingga ke tahap Nasional, Alhasil, saya sendiri tidak mempunyai ikatan yang khusus dengan klub bola di Indonesia. Tapi sebagai penonton, saya menyukai sepakbola Indonesia.
Saya tidak mempunyai alasan spesifik, namun mengulik masa lalu ketika menjadi anak kecil dan membahas sepakbola Indonesia, saya selalu merasa ada ikatan tersendiri terhadap permainan ini.
Membaca cerita lebih dalam mengenai legenda-legenda sepakbola yang bermain di Indonesia sangat menyenangkan. Memahami apa yang benar-benar terjadi dengan sepakbola Indonesia masa itu, rasanya memang surreal.
Nama-nama beken yang selalu saya ingat seperti, Zah Rahan, Keith Kayamba Gumbs, Bio Paulin, Budi Sudarsono, Bambang Pamungkas, Ronald Fagundes, Danilo Fernando, sepertinya akan jadi nama-nama pemain yang akan selalu diingat.
Sepakbola Indonesia rasanya selalu pantas untuk dikenang. Namun, perasaan yang sama tak akan pernah kembali setelah tragedi Kanjuruhan.
Sepakbola Indonesia dan Hal-Hal yang seharusnya tidak terjadi
Sulit untuk tidak membahas tragedi kanjuruhan saat membahas sepakbola Indonesia. Tragedi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Tragedi kelam yang membuat seharusnya sepakbola tidak dimainkan di Indonesia.
Tragedi Kanjuruhan memang puncak. Gejala-gejala sering terlihat tahun-tahun sebelumnya. Bentrokan. Kerushan. Bahkan kematian. “Tidak ada satu kemenangan pun yang sebanding dengan nyawa,” ujar Bambang Pamungkas sekali waktu ketika ada fans sepakbola Indonesia menjadi korban keganasan sepakbola itu sendiri.
Namun, hal ini tidak pernah menjadi bahan perenungan dan pembelajaran yang serius. Seakan semua orang tahu bahwa peristiwa pilu seperti ini akan terjadi di waktu datang.
Saya rasa saya tidak terlalu pantas untuk memberikan komentar terkait persoalan yang serius seperti ini. Saya sebenarnya hanya ingin menulis bagaimana saya mencintai sepakbola dan hal-hal di belakangnya.
Tapi membaca buku ini, saya jadi lebih paham bahwa gejala karut marutnya sepakbola Indoensia memang terjadi sudah sejak lama. Mental hooliganisme dan cenderung kasar jadi salah satu tanda. Selain itu, hukum yang tidak bekerja dengan semestinya juga melipatgandakan masalah. Kesewenang–wenangan para penegak hukum ambil bagian dalam benang kusut ini.
Sutton di buku ini terheran-heran bagaimana penegak hukum bisa menghentikan pertandingan atau membuat pertandingan tidak jadi diadakan berdasar analisis mereka sendiri.
Dimana seharusnya permainan sepakbola menjadi permainan yang menghibur, sebaliknya, di Indonesia permainan ini bisa memberi luka yang perih menganga.
Setelah tragedi kanjuruhan, saya juga sependapat bahwa jika memang sepakbola tidak ada di Indonesia, kita akan baik-baik saja. Tidak akan kekurangan satu apapun. Tidak akan memberi luka yang kita tidak akan tahu bagaimana cara menyembuhkannya.
Membaca Buku “Sepakbola: The Indonesian Way of Life” bisa jadi cara merenung, belajar dan memang untuk melihat lebih dekat bagaimana cara hidup dengan sepakbola ala Indonesia.