“Saya bisa mendapatkan kopi dengan harga setengah Euro,” ujar seorang teman ketika ditanya apa kesannya terhadap kota Braga. Dari pernyataan itu, kita bisa tahu bahwa Kota ini merupakan kota di Eropa yang ekonomis.
Aku juga mengamini.
Braga memang salah satu kota di Portugal yang ramah kantong, jika tidak ingin menyebut Kota murah. Beberapa teman dari negara-negara Eropa sekitar sering aku dengar berujar hal demikian.
Teman tadi misalnya, dia berasal dari Italia, di mana, kota tempat dia tinggal, untuk satu shot espresso, dia bisa mendapatkannya dengan harga 1 hingga 1.5 Euro. Tentu, lebih mahal daripada di Braga.
Selain itu bahan-bahan kebutuhan pokok juga bisa dibilang terjangkau. Roti tawar misalnya yang isinya banyak (agak lupa persisnya berapa, pokoknya bisa dipake seminggu) hanya seharga 75 sen. Buah-buahan seperti jeruk juga bisa sangat terjangkau.
Hal inilah yang aku rasa kenapa aku betah sekali tinggal di Kota ini.
Braga tidak bisa dibilang kota metropolitan tentu, namun, Mall dan gedung-gedung modern bisa kamu temukan merata di pinggir Kota. Di sisi lain, kota ini juga masih merawat bangunan-bangunan tua bersejarah. Gereja, gedung-gedung pertunjukan, atau rumah-rumah dengan arsitek jaman dulu masih tersebar di pusat Kota.
Jalanan kota memang telah banyak menggunakan aspal, ada juga semacam tol yang melintas di sisi kota, namun, tak jarang bisa ditemui plaza atau lorong-lorong masih menggunakan batu-batu atau paving.
Aku rasa, Braga adalah kota tua yang kontemporer.
Di satu sisi, sejalan dengan perkembangan zaman yang modern. Di sisi lain, kota ini rasanya masih seperti kota tua peninggalan kerajaan romawi zaman dahulu.
“Inilah batas tebing atau tembok kerajaan roma,” kata seorang teman menunjukan tembok kuno di pinggiran kota.
Namun, ada satu hal yang aku sesali yaitu, aku tidak banyak berinteraksi dengan penduduk asli Kota. Selain orang-orang yang bekerja di organisasi, praktis, aku hanya berinteraksi dengan penduduk kota kala ke supermarket, atau di masjid.
Kendala bahasa tentu menjadi persoalan. Alhasil sedikit sekali interaksi yang bisa aku lakukan dengan warga kota. Tapi mari aku ceritakan beberapa yang menarik.
Orang Batak Tersesat di Braga
Suatu waktu, aku baru saja pulang dari pusat kota setelah melakukan suatu hal. Malam itu sekitar pukul 11.30. Aku berjalan santai di trotoar jalan yang lengang. Musim dingin telah berakhir waktu itu, tapi gerimis masih sering turun dan ini membuat suhu udara menjadi lebih menurun.
Saat aku berjalan sendiri sambil melamun, saat itulah ada pria paruh baya setengah mabuk berteriak, “Horas! Horas!”
Di dalam kepala, “Tidak, dia pasti bukan orang batak?!”
Aku tersadar dan paham maksud pria setengah baya ketika menunjuk tangannya tanda ingin bertanya soal waktu. Pria paruh baya ternyata ingin bertanya jam berapa. Aku sendiri tak memakai jam tangan, namun aku segera menunjukkan waktu di handphone yang aku pegang.
Meskipun, Braga menurutku kota yang aman, namun aku memang selalu waspada. Setelah Pria Paruh Baya melihat waktu di HP, dia kemudian berlalu. Aku pun mempercepat langkah kaki dan ingin segera tiba di kamar dan menyalakan penghangat ruangan.
Penyuluh Agama
Kota sedang dilanda hujan kala aku didekati seorang perempuan di alun-alun. Aku sedang berjalan-jalan sehabis masa kerja sekitar pukul empat sore. Seperti Bogor, Aku juga menjuluki kota Braga sebagai Kota hujan.
Di akhir musim dingin kala aku tinggal di Braga, hujan terus menerus turun. Intensitas hujannya tidak seperti hujan yang lebat seperti yang biasa aku rasakan di kampung. Hujan di Braga rintiknya kecil-kecil. Namun, hujan ini awetnya bukan main.
Sekali waktu, hujan berlangsung seharian tanpa henti. Dan meskipun musim dingin telah berakhir, suhu udara bagiku yang merupakan orang tropis masih terasa cukup dingin.
Kembali soal perempuan yang mendekat kala hujan di pusat kota, di menyapaku ramah dan bertanya, “Apakah kamu tidak kedinginan?” Dia bertanya dalam bahasa Portugis yang tentu saja aku tidak paham dan menggantinya dalam bahasa Inggris.
“Biasa saja,” aku menjawabnya santai.
“Tapi, kamu tidak memakai sepatu, dan sepertinya ini dingin?” dia kembali mengajukan tanya.
Aku melihat kakiku memang tidak terbungkus sepatu. Hanya ada Swallow melekat sebagai lelampak (lelampak adalah sebutan sandal dalam bahasa Sasak). Sepertinya, perempuan tadi memperhatikanku ketika jalan sembari memercikan air ke sana kemari.
“Tidak, aku tidak kedinginan, maksudku tidak terlalu dingin,” jawabku.
Aku juga mengucapkan terima kasih dan dia mengangguk-angguk. Dia kemudian bertanya standar soal negara asal, dan aku sedang apa di Braga. Hal yang aku tidak duga kemudian adalah ketika dia bertanya aku memeluk agama apa.
“Aku seorang muslim,” aku menjawab dengan agak kaget mendapat pertanyaan seperti itu.
Pertanyaan-pertanyaan dan obrolan selanjutnya membuat aku memahami bahwa dia seorang misionaris. Sepetinya begitu. Atau sebut saja penyuluh agama.
Meskipun merasa sedikit tidak nyaman, aku sendiri tak buru-buru untuk pergi meninggalkannya.
Pengalaman bertemu dengan penyuluh agama ini menjadi menarik karena tidak terjadi sekali. Sama seperti pengalaman ditawari marijuana. Bahkan, hal ini terjadi lebih dari dua atau tiga kali; pernah ada yang mengetuk pintu apartemen dan menawarkan untuk bergabung dengan agama tertentu.
Bukan hanya dari agama Mayoritas seperti Katolik, aku pernah mendengarkan dan diajak ngobrol dengan penyuluh agama dari Gereja Saksi-Saksi Yehuwa. Hal ini tentu menjadi pengalaman yang sedikit menarik.
Suatu waktu aku mengobrol dengan teman orang Portugal yang mengatakan bahwa gereja memang mulai semakin sepi. Menurutnya, anak-anak muda sudah tidak terlalu tertarik. Dia juga menyebutkan beberapa faktor lain terkait persoalan ini.
Suatu waktu di Minggu pagi aku pernah berjalan-jalan di kota dan melihat memang para lansia lah yang lebih banyak masih datang ke gereja. Aku sering mendapatkan atau kebagian bunga-bunga yang mereka bagikan di luar gereja.
Usai beribadah, yang aku lihat, mereka juga biasanya akan duduk-duduk di alun-alun kota atau berjalan-jalan santai. Braga memang Kota yang seru untuk tinggal dan hidup.
Rosie dan Seorang Laki-Laki yang Saya Lupa Namanya
Aku bertemu Rosie kala aku bersepeda ke puncak bukit dekat apartemen. Aku sering sekali ke bukit ini. Selain dekat, bukit ini juga mempunyai pandangan yang bagus. Dari puncaknya, kamu bisa melihat pusat kota dan bangunan-bangunan uniknya.
Jika kamu bangun pagi-pagi, dari atas bukit ini juga kamu akan melihat bagaimana kota ini bangun dari tidur. Perlahan-lahan jalanan akan dipenuhi kendaraan dan orang-orang lalu lalang.
Waktu itu sepertinya hari libur, jadinya aku bisa bersepeda di pagi hari sekitar pukul 10. Udara musim semi juga masih sejuk. Meskipun cukup melelahkan, pemandangan dari puncak bukit selalu aku sukai.
Saat sampai puncak dan ingin berfoto, aku kebingungan. Aku ingin fotonya terlihat bagus dan menampilkan landscape kota. Itulah ketika aku melihat Rossie dan Teman Laki-Lakinya. Tidak ingin melewatkan momen aku pun meminta tolong mereka untuk menangkap gambarku.
“Aku Harun,” kataku sambil menjulurkan tangan mengenalkan diri.
Untungnya, mereka bisa bahasa Inggris, Rossie dan Teman Laki-Laki yang aku lupa namanya juga menyebut nama masing-masing. Kami pun mengobrol tentang apa yang sedang kami lakukan di Kota Braga. Rosie kalau tidak salah dari Brazil, dan teman laki-laki yang aku lupa namanya berasal dari sebuah negara di Afrika.
Obrolan kami tidak panjang, karena aku harus segera turun karena agak lapar dan ingin segera makan. Mereka berdua mengundangku untuk kapan-kapan bisa ke tempat mereka dan bermain bersama. Aku masih follow instagram Rosie.
***
Ya, tulisan ini masih bisa aku lanjutkan. Aku akan membuat part duanya. Sepertinya masih ada yang perlu diceritakan. Aku masih ingin juga menceritakan pengalaman-pengalaman dan sudut-sudut kota yang lain.
Selama 6 bulan, Braga dan orang-orangnya memang sangat membuatku betah.