Menghubungi orang Indonesia Portugal jadi salah satu hal yang pertama yang aku lakukan saat aku tiba di negeri paling barat benua Eropa ini. Aku juga membaca beberapa guide dari pemerintah Indonesia di Portugal supaya orang Indonesia melapor diri. Hal ini agar diketahui keberadaannya oleh kedutaan.
Tinggal 11.000 kilometer jauhnya dari tanah air membuat aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Aku tak ingin kemungkinan menjadi gembel terjadi.
Jauh dari sanak saudara dan teman-teman yang bisa membantu membuatku memikirkan mitigasi-mitigasi untuk penyelamatan. Karenanya, berkawan atau kenalan dengan beberapa orang Indonesia di Portugal jadi pilihan yang yang sudah aku pertimbangkan.
Jauh-jauh hari, seorang teman juga menyarankan hal yang sama. Dalam hal ini, mereka menyarankanku untuk berkontak dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia Portugal, atau PPI Portugal.
Aku tiba di Kota Braga, 13 Maret 2019, aku berencana melapor diri. Namun, setelah membaca dan caranya cukup ribet, niat tersebut aku urungkan. Kemudian yang aku lakukan adalah menghubungi PPI Portugal saja.
Hal ini tidak terlalu susah karena informasi telah tersedia di internet.
Aku kemudian terhubung dengan Mas Daya. Salah seorang mahasiswa yang sedang belajar di U-Porto. Kebetulan dia merupakan ketua PPI Portugal waktu itu. Dia kemudian mengundangku masuk grup whatsapp.
Mas Daya kemudian berkabar bahwa PPI sedang mengadakan kegiatan bertema keindonesiaan di kampusnya. Dia mengundangku. Lalu aku menyanggupi.
Bang Nany
Di acara ini lah pertama kali aku bertemu bang Nany. Dia menjadi salah satu teman yang paling menyenangkan dan baik tidak ketulungan selama aku tinggal di Braga. Orang yang menawarkan diri untuk membantu sebelum aku meminta.
Setelah aku merasa bingung untuk kembali ke Braga karena sudah tengah malam, Mas Daya mengatakan bahwa aku bisa menginap di tempatnya. Namun, dia belum memastikan. Aku tak panik.
“Tunggu, aku masih ada tamu yang rencananya juga akan menginap. Tapi, tenang, aku akan menemukan tempatmu bermalam!,” ujarnya menenangkan.
Sembari menunggu konfirmasi dari Mas Daya, aku duduk melihatnya ke sana kemari menyalami dan mengobrol dengan tamu-tamu. Aku mafhum, dia waktu itu menjabat sebagai ketua PPI Portugal, dia sibuk dan aku rasa acara ini penting sekali untuknya.
Hal inilah yang membawa perkenalanku dengan Bang Nany. Kami berkenalan dengan percakapan cukup unik.
“Apakah kamu orang China?” sapanya dalam bahasa Inggris.
“Apa aku terlihat seperti orang China?” jawabku.
Kami pun berkenalan.
Bang Nany berasal dari Timor Leste. Waktu itu, dirinya sedang menempuh pendidikan Master nya di salah satu universitas di Porto. Dia lebih tinggi dariku. Rambutnya keriting dan dikuncir ke belakang.
“Aku ini tetangganya Krisdayanti,” ujarnya bangga di tengah percakapan awal ketika kami berkenalan.
Dia melanjutkan cerita bahwa saban hari, di kampungnya di Timor Leste, dia sering melihat sang penyanyi kondang berjalan di pantai dekat rumah mereka. Bagi bang Nany, Krisdayanti adalah penyanyi terkenal yang ramah. Bagi yang belum tahu, Krisdayanti menikah dengan salah seorang pengusaha asal Timor Leste. (Informasi yang tidak terlalu penting memang.)
Aku rasa aku cukup cepat akrab dengannya. Entahlah, rasanya waktu itu obrolan kami cukup nyambung. Beberapa kali dia juga menyebut Jokowi dan memujinya sebagai presiden yang oke. Dia memberi highlights bahwa di masa kepemimpinannya, Jakarta telah berubah menjadi kota yang lebih keren. Dia menyebut Indonesia telah mempunyai MRT seperti negara-negara maju.
Malam semakin larut dan acara PPI akan segera berakhir kala Bang Nany mengajakku untuk bermalam di tempatnya. Terlalu malas untuk mengejar kereta kembali ke Braga, aku mengiyakan. Aku urung menjadi homeless di Porto.
Sepanjang perjalanan ke tempatnya di bercerita banyak hal. Kehidupannya di Porto, budaya Eropa, kencan, dan banyak hal lain. Dia bahkan mengajakku bermain sepakbola keesokan harinya.
Tak lupa juga, kami berfoto-foto sepanjang jalan ke tempat tinggalnya. Kebetulan, dia juga tinggal di dekat sungai Rio De Douro, dimana ada jembatan paling terkenal di Porto yaitu, Dom Luís I Bridge.
Tiba di tempat tinggal Bang Nany, aku masih ingat bau kamarnya. Bau scent yang hampir habis dibakar. Bau-Bau seperti ketika masuk dalam gereja-gereja. Iya aku rasa itu bau kemenyan, aku menebak dalam hati.
Flat tempat dia tinggal cukup luas. Di dalam kamarnya, aku melihat Salib berukuran sedang terpampang di tembok. Patung Yesus berdiri di atas meja belajar. Dapur dan kamar mandinya bersih dan cukup nyaman untuk digunakan. Bang Nany kemudian menyiapkan ekstra bed untukku.
Malam itu masih akhir musim dingin. Cuaca masih bisa menurun rendah. Dia menyalakan heater untuk menghangatkan ruangan. Namun rasanya, malam itu, pribadi bang Nany sendiri jauh lebih hangat.
Orang Timor Leste di Tanah Portugis
Sebelum mengenal beberapa orang Indonesia di Portugal, aku lebih dulu sering bermain dan merasa bagian dari teman-teman Timor Leste. Pertama kali aku berjumpa dengan komuintas ini saat bang Nany mengajakku bermain futsal bersama mereka.
Kami bermain di lapangan milik sebuah seminari. Aku dikenalkan ke beberapa teman bang Nany, dan mereka menerimaku dengan baik.
Rata-rata mereka merupakan mahasiswa asal Timor Leste yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Porto. Sepertinya, mereka Vivere pericoloso nya orang-orang Timor Leste yang akan kembali dan membangun negaranya.
Selain itu, mereka masih bisa bercanda tentang bagaimana Indonesia pernah menguasai Timor Leste.
“Dulu saya sempat SD di sekolah Indonesia,” ujar seorang bapak setengah baya.
Selama berinteraksi dengan mereka, aku mengamati bahwa sebagian dari mereka masih bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Mereka juga masih mempunyai memori dan kenangan mengenai masa-masa tersebut.
Aku sebenarnya merasa sedikit tidak enak. Apa yang terjadi pada peristiwa Santa Cruz di Timor Leste misalnya adalah hal yang tidak boleh terulang lagi.
Dulu ketika SD, aku membaca dan mengira bagaiamana Timor Leste begitu congkak dan besar kepala untuk keluar dari Indonesia. Namun, membaca dan memahami lebih banyak lalu menjadi mengerti, aku rasa mereka layak untuk keluar dari Indonesia dan menentukan nasib mereka sendiri
Bukankah memang benar, bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa?
Berinteraksi bersama komunitas Timor Leste, aku jadi mengetahui fakta unik bahwa, tayangan-tayangan televisi Indonesia ada yang masuk ke negara mereka. Aku beberapa kali mendengar beberapa dari mereka membicarakan soal sebuah tayangan televisi atau sinetron yang sedang tayang.
Hari itu, aku ikut bersenang-senang dan bermain sepak bola bersama mereka. Hari yang menyenangkan.
Bukan cuma sekali, aku pergi dan bermain bersama teman-teman Timor Leste beberapa kali. Lebih sering memang bersama Bang Nany. Aku senang saat dia mengajariku cara menaiki MRT dalam kota. Menunjukan gedung-gedung tua. Atau makan-makan bersama.
Suatu waktu, aku juga ikut menjadi bagian tim futsal mereka pada lomba untuk perayaan kemerdekaan Timor Leste. Kebetulan lombanya dilaksanakan di Braga. Sepertinya aku bermain tak terlalu bagus, aku hanya bermain 2–3 menit sebelum waktu berakhir. Kalau tidak salah, timnya Bang Nany hanya mampu hingga perempat final.
Sebelumnya, aku hanya tau komunitas nya Bang Nany saja, yang menurut saya jumlahnya sudah besar. Namun, ketika lomba tersebut, saya menemukan lebih banyak orang-orang Timor Leste di Portugal.
Bang Nany juga bercerita bahwa, karena Portugal dan Timor Leste mempunyai kerja sama bilateral, orang-orang dari Timor Leste bisa memegang dua paspor yaitu, Paspor Portugal dan Timor Leste. Dengan hal ini, mereka kemudian bisa bekerja di negara-negara seperti Inggris atau Swedia. Negara-negara tersebut memang relatif mempunyai gaji yang lebih tinggi.
Aku tak menyimpan banyak arsip, jadi aku tak bisa menampilkan gambar-gambar langsung yang aku tangkap melalui handphone ku. Namun, aku selalu percaya bahwa memori yang kuat akan terus diingat.
Dan selama enam bulan di Portugal, pengalaman bersama teman-teman Timor Leste menurutku menjadi pengamalan yang menyenangkan.
There are places I’ll remember
All my life, though some have changed.
Some forever, not for better;
Some have gone and some remain. — Lennon, McCartney “The Beatles”